Ketika Ayah Pulang

December 06, 2020


 Oleh : Marsha Zafeera

Kali ini kami menjalani libur panjang yang tak biasa. Akibat wabah virus korona sekolah diliburkan selama dua minggu dan diperpanjang sampai 12 April. Awalnya aku membayangkan belajar di rumah itu seru, bisa sambil bersantai dan makan banyak cemilan.  Namun ternyata semakin lama malah jadi membosankan.


Tiap hari bersama bunda setelah selesai belajar pelajaran sekolah aku mengerjakan tugas mengaji dan hapalan quran. Semua dikerjakan bunda sendirian, karena di rumah kami tak memiliki pembantu. Sesekali bunda keteteran, tidak sempat mengerjakan tugas rumah dan kerap marah karena aku terlalu lambat dan suka menunda pekerjaan.  Aku bosan karena tidak bertemu teman-teman sekolah. 


Di sekolah aku memiliki teman akrab bernama Regina, biasa di sapa Egi.  Aku kangen, karena semenjak libur kami jadi sama sekali tidak bertemu.  Suatu hari, bunda membolehkan aku menelpon egi melalui video call. Egi bercerita banyak dan menanyakan hari-hariku selama liburan.  Dia juga bilang selama mengikuti sekolah online ia temani oleh ayahnya di rumah.  Tiba-tiba aku merasa sedih, karena ayahku kerja di Jakarta.  Aku membayangkan alangkah senangnya jika belajar dengan ayah dan seandainya ayah bisa pulang dan menemani kami belajar meringankan tugas bunda.  Oya, ayahku pulang biasanya sebulan sekali selama tiga hari.


Setelah melakukan video call dengan Egi, akupun menelpon ayah. Saat telepon bersambung, aku mengatakan apa yang kuinginkan.  Aku ingin ayah pulang.  Namun, ayah menjawab belum bisa, karena wabah virus lebih dulu melanda ibukota. Ia harus memeriksakan kesehatannya dulu sebelum memutuskan apakah bisa mengabulkan keinginanku atau tidak.  Ayah bilang, tak mau menjadi pembawa bibit penyakit dan menulari kami.  Atau jika memang keadaan belum normal, ayah lebih memilih menunggu sampai virus covid-19 ini mereda.


Aku membayangkan jika ayah pulang dan wabah selesai kami berjalan-jalan lagi di pantai.  Di kotaku banyak sekali pantai yang indah.  Terakhir ayah pulang kami mengajak kakek ikut serta dan pulang menjelang sore. Hari itu terasa seru karena kami melewatkan hari sambil berenang, bermain pasir, berlarian di sepanjang pantai dan makan bersama. 


 Ayah biasanya pulang ke Bandar Lampung menggunakan pesawat terbang. Ayah juga mengatakan kemungkinan bandara-bandara akan ditutup jika pemerintah memutuskan lockdown atau sosial distancing.  Maksudnya, seluruh warga diminta untuk banyak berdiam di rumah dan menjaga jarak di keramaian untuk memutus rantai penularan penyakit.  Virus corona walaupun mungil dan lucu dilengkapi semacam jarum yang banyak ditubuhnya sehingga mudah menempel di tubuh manusia.  Ia menyebabkan kematian, karena siapa saja yang tertular akan mengalami batuk, pusing dan sesak napas. Virus ini bukan virus flu biasa.  Pertamakali ditemukan di Wuhan, China.  Yang membuatnya berbahaya, jika seseorang terkena virus ini biasanya tak mengalami gejala apapun. Nanti 14 hari setelah masa inkubasi, barulah orang tersebut mengalami tanda-tanda positif corona.  Selama masa virus tertidur, jika orang tersebut tetap beraktivitas dan  bertemu banyak orang ia bisa menularkan penyakit memlalui bersin dan batuk. Akibatnya, bukan cuma aku, Egi, bunda, dan ayah yang bisa tertular melainkan seluruh penduduk kota.


Hampir setiap hari ayah menelponku. Tapi bagiku lebih seru jika ayah pulang dan berkumpul di rumah, agar hari-hari libur kami terasa lebih semarak, dan yang pasti tugas bunda menjadi lebih ringan.


Pada hari ke empat sekolah online, aku mendapat tugas membuat vlog mengenai bahaya corona.  Dibantu bunda aku berperan sebagai virus kecil yang tak kasat mata.  Melalui banyak artikel yang tersedia di google, aku jadi mengetahui dan melanjutkan bercerita kepada teman-teman di rumah, agar sering-sering mencuci tangan dengan sabun, rajin mandi minimal dua kali sehari dan tidak bermain dulu ke luar rumah selama masa social distancing, dan mengenakan masker jika terpaksa keluar rumah.


Hari-hari berikutnya masih seperti biasa.  Pagi aku menjalankan sekolah online sampai jam 12.00, sore harinya bermain di teras atau halaman rumah, dan malamnya aku mengaji dan setoran hapalan quran.  Sesekali bunda mengajakku mewarnai dan belajar menggambar di handphone dengan aplikasi ibispaint sebagai pengusir rasa bosan.


Hari ke sepuluh liburan, siang hari setelah salat zuhur, pintu rumah ada yang mengetuk.  “Dek, tolong buka pintunya,” pinta bunda, sebab ia tengah mencuci pakaian di belakang. Akupun melangkahkan kaki ke pintu depan lalu membukanya.  Suprise! Aku terkejut melihat sosok ayah yang tersenyum dan merentangkan tangan untuk segera dipeluk  “Ayaaaah ...,” teriakku sambil berhambur memeluknya dengan erat. Akhirnya ayah pulang.  Ayah mengabulkan semua yang kuinginkan, ia menemaniku belajar online, membantu mewarnai bersama dan menonton film kartun kesukaan.  Aku senang sekali.


Sayangnya, aku merasakan pipiku seperti ditepuk-tepuk seseorang.  Rupanya, bunda membangunkan aku yang tertidur siang setelah lelah belajar.  Ternyata, kedatangan ayah hanya mimpi.  Kata bunda, mungkin itu disebabkan karena aku terlalu merindukannya.  Ayah tidak bisa kembali sampai wabah dinyatakan usai. Sekalipun merasa sehat, kata ayah ia tidak ingin mengambil resiko menjadi silent carrier atau pembawa penyakit yang tak sadar menulari banyak orang.  Sebab, tidak ada jaminan ayah tidak akan tertular selama penerbangan pulang, sekalipun telah berhati-hati menggunakan masker dan rajin cuci tangan di sepanjang perjalanan []


❤❤❤❤


*ini adalah cerpen hasil karya anakku yang diikutsertakan dalam buku antologi "Asyiknya Belajar Di Rumah" bersama para penulis cilik komunitas Joeragan Artikel

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Powered by Blogger.