Essai @selow.co

February 10, 2020






(SELOW.CO): Ups! Agak terhenyak juga tetiba diminta jadi juri lomba menulis cerpen di sekolah anak sendiri. Kenapa syok? Sebab saya pikir masih banyak penulis lain yang bisa dijadikan sebagai bahan rujukan dan sudah pasti lebih kredibel. 

TAPI SAYANGNYA, para panitia tetap kekeuh menjatuhkan pilihan ke saya, hanya dengan alasan saya sudah menelurkan satu buku… Duh! Baru satu lho bukunya…Kok langsung main percaya aja dengan kemampuan saya?

Gimana kalau saya nggak adil. Apalagi anak sendiri juga menjadi bagian dalam barisan peserta? Hehehe. Ah, mungkinkah mereka punya keyakinan bahwa sebagai penulis buku “Andai Dosa Berbau” lantas saya tak akan berbuat dosa dengan bertindak curang karena takut dosa saya nanti menguarkan bau anyir? Begitu kira-kira saya menebak jalan pikiran panitia.

Oke skip. Lima belas hasil karya anak-anak tergeletak di atas meja. Hasilnya sedikit membuat terpana. Tiga cerpen saya diskualifikasi. Tiga lainnya bikin saya mengetuk-ketuk meja karena kebingungan memutuskan apakah ini masuk kategori plagiat atau tidak?

Secara Kaidah Baku Bahasa Indonesia (KBBI) plagiarisme atau disingkat plagiat diartikan sebagai pencurian karangan milik orang lain. Dapat juga diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain yang kemudian dijadikan seolah-olah milik sendiri.

Sebenarnya banyak sekali kategori plagiat dalam berbagai referensi. Seperti pada Pengantar Penulisan Ilmiah karangan Felicia Utorodewo dkk. Di sana disebutkan beberapa hal yang dikategorikan sebagai plagiarisme, semisal:
Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya.

Atau meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan meringkas serta memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

Nah, kalau kasus anak-anak ini, beberapa karya termasuk pada kategori yang pertama dan sebagian lagi kemungkinan yang terakhir.

Teringat beberapa waktu lalu berkaitan dengan masalah serupa.  Kasus yang menimpa ANF, terduga plagiator yang justru malah diundang ke istana negara sebab status FB-nya yang berjudul “Warisan” yang menjadi buah bibir.

Dugaan ini tentu beralasan, didasari oleh postingan seseorang beridentitas berbeda dengan tanggal dan waktu jauh sebelum kemunculan tulisan ANF. Dari segi redaksional terdapat kemiripan nyaris 90 persen dari kedua postingan tersebut, bahkan sama hingga titik koma. Kalaupun ada perbedaan, hanya ada sedikit penambahan paragraf baru pada bagian terakhir. Sayangnya, ANF bersiteguh karya itu murni buah pemikirannya.

Lupakan dosa besar yang membayang jikalau memang ada yang berbohong. Kebayang kan dampak dari ketidakjujuran dalam kasus ini? Siapa yang terkenal dan  bisa jadi penulis aslinya malah hanya gigit jari menonton diam-diam dari kejauhan.

Padahal soal plagiat sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Tapi entah karena tak ingin bersinar, atau memang terlalu takut berhadapan dengan masalah hukum, ternyata tidak pernah ada complain. Akhirnya kita kurang dapat penjelasan lebih lanjut tentang benarkah ada “pencaplokan” karya dalam peristiwa tersebut.

Kasus lain pernah dialami oleh sesama anggota Komunitas Literasi (juga) di medsos. Cerpen hasil karyanya di-copy paste kemudian dimuat pada sebuah situs lalu penulisnya diganti dengan nama orang lain. Tujuannya apa sih? Ya jelas UUD, Ujung-Ujungnya Duit … honor kepenulisan. Selain itu ya harapan dikenal khalayak sebagai penulis kan keren (kayaknya )… ehm.
Balik lagi ke soal penjurian lomba penulisan di sekolah anak saya. Alhasil, pemenang lomba sudah saya tentukan. Namun masih menyisakan PR (pekerjaan rumah) bahwa ke depan mungkin memang perlu ada edukasi pada anak-anak terkait plagiarisme baik di dunia literasi atau bidang lainnya.

Sehingga bila sudah dibekali pemahaman semenjak dini sangat mungkin berperan dalam menekan munculnya kembali kasus-kasus plagiarisme, dan membuka jalan lebar bagi munculnya penulis-penulis andal yang murni ber-ide cemerlang.

Kalau bagi saya pribadi jelas, plagiarisme selain dosa besar juga merupakan masalah yang harus disikapi serius. Memang awalnya hanya menjiplak, bisa jadi berakhir pada klaim suatu karya. Namun kalau didiamkan dan malah membudaya, nggak mustahil besok lusa ada pemimpin yang mengklaim karya orang lain sebagai mutlak hasil jerih payahnya sendiri, eh….keceplosan.

(*Penulis Buku “Andai Dosa Berbau”)

💗💗💗💗








(SELOW.CO): Jadi korban bullying memang nggak enak, tapi apalah daya sepertinya kebiasaan mengejek sudah membudaya.

SEDARI KECIL saya punya banyak julukan “keren” diantaranya si jenong, tomboi, ayam sayur karena kerap sakit, sampai kutilang darat (kurus tinggi langsing *maaf dada rata).  Kejam memang predikat yang disematkan, bahkan sempat membuat saya minder dan perlahan jadi pribadi yang introvert.

Kenapa sekarang berubah hampir 180 derajat? Orangtua yang pasti punya peranan penting untuk mengarahkan saya lebih berfokus pada potensi diri, daripada terus-terusan sedih merasa dilecehkan.

Setelah puluhan tahun berlalu, hampir bisa dibilang saya sudah melupakan semuanya, bahkan membayar lebih pandangan miring dengan prestasi yang saya torehkan.  Nggak ada dendam dengan teman kecil yang dulu berada pada deretan si pembully. Bahkan kami pernah tertawa bersama dalam berkendara ketika bertemu di jalan dan mengingat masa-masa itu.

Tentu saja, karena ejekan itu hanya sebatas ucapan, tidak berlanjut pada kekerasan fisik. Meski pada dasarnya bullying bukan perilaku terpuji yang bisa dibenarkan. Atau, mungkin saja karena korbannya setangguh saya? Ups!
Bayangkan jika dialami oleh mereka yang rapuh, lalu dibesarkan dalam keluarga yang minim perhatian? Duh! … seram.

Malah ada loh kawan sekolah saya dulu -dari keluarga tajir melintir- yang sampai bela-belain oplas demi merubah salah satu bagian wajahnya karena kerap di bully semasa kecil. Tapi apa masalahnya selesai begitu saja? Karena bagaimanapun juga bisik-bisik di belakang nggak bisa dihentikan.

Oh iya, pernah baca buku Rooftopbuddies karya Mbak Hanny Dewanti? Novel teenlit yang isinya tentang remaja yang ingin bunuh diri karena kerap dibully. Di situ diceritakan, bagaimana perasaan sang tokoh yang kerap diremehkan dan dendam yang perlahan tersulut di hatinya. Namun karena kurang dukungan keluarga dan ketidakberdayaan, akhirnya sang tokoh sempat memilih mati agar seluruh permasalahannya selesai.

Menariknya, sebelum sang tokoh memutuskan loncat dari atap gedung, dia bertemu seseorang-korban senasib dan seide (sama-sama hendak bunuh diri dan melompat dari atap gedung meski masalahnya beda). Keduanya akhirnya sepakat memutuskan menunda rencana mati, dan melakukan 10 hal yang paling diinginkan selama hidup sebelum benar-benar bunuh diri bareng.

Selanjutnya gimana? iish, kok jadi promosi buku ?! bukan ke sana opini yang mau saya giring, tapi menitikberatkan bahwa bullying itu jahat dan bisa berakibat fatal pada kejiwaan si korban.

Seperti kasus bully (Audrey) teranyar yang tengah viral dan membuat kita terhenyak berjamaah, lantaran ulah remaja pengeroyok usai terlibat sindir menyindir dengan korban di medsos.

Entahlah, saya tidak mau berkomentar banyak atau serta merta menghakimi pelaku, karena kasusnya memang masih simpang siur dan bagaimanapun biarlah proses hukum yang berjalan.
Yang jelas, peristiwa ini menjadi tamparan bagi semua bahwa ejek-mengejek bukan hal yang patut diremehkan. Gak usah berkoar-koar dulu ini tugas pemerintah yang sudah salah dari awal membuat sistem pendidikan yang hanya terfokus pada nilai akademik ketimbang membentuk karakter.

Setidaknya sebagai orangtua, sudahkah kita mendidik anak-anak agar tidak menjadi pelaku bullying? Sebab banyak orang hanya pandai menilai, memaki bahkan mengecam, padahal nggak sadar diri sering juga menjadi pelaku.

Orangtua kadang nggak sadar jadi teladan buruk, sehingga anakpun merasa sah-sah saja menyematkan gelar buruk pada temannya. Contoh simple, cermati keseharian saat mengawal kegiatan bersekolah anak. Adakah emak-emak yang teriak semacam ini, “Tupol (Ratu ngompol) … bukunya sudah disiapkan belum?” Nah kan?!
(*Penulis Fiksi)

💗💗💗💗💗💗💗



KALA NENEK SEPUH GETOL SELFIE DEMI TASPEN OTENTIKASI, CHEESE…!







(SELOW.CO): Pernah terbentur kebijakan baru yang bukan terasa sebagai solusi, malah bikin kita kepingin muntah berkali-kali?

SAYA PERNAH. Sebenarnya perkaranya merundung nasib ibu saya yang sudah sepuh, tapi secara tidak langsung tetap saja menjadi urusan saya juga, selaku anak cantik kesayangannya (lagian apa ada nyokap yang nggak sayang sama anaknya sendiri? dan semua ortu juga pasti bilang kalo anaknya paling cakep atau ganteng sedunia, toh,…hehe).

Bermula saat saya mendampingi ibu yang pensiunan guru ke Bank BRI. Saat itu bulan Desember 2018. Biasalah, urusannya buat ambil jatah pensiunan bulanan. Seperti pensiunan lainnya, momen ini pasti sangat penting bagi ibu saya. Tak heran kalau semenjak berangkat air mukanya sudah tampak cerah, semringah.

Tapi siapa nyana kalau kali ini urusannya tidak sesederhana bulan-bulan sebelumnya. Ibu dan saya, tentunya, agak terkesima saat mendapati informasi dari pegawai bank.
Kurang lebih infonya begini: Para pensiunan tiap bulan akan didata ulang dengan menyetor sidik jari, rekam suara, rekam wajah, dll. Sederet ketentuan tersebut wajib dilakukan melalui aplikasi Taspen Otentikasi yang sudah disediakan di playstore android.

Deg! Tetiba saya lihat wajah ibu mendadak kenceng. Agaknya beliau sedang berpikir keras. Mungkin ibu sedang menerka-terka. Aplikasi itu apaan, ya? Terus playstore itu apa mirip-mirip departemen store? Kok, pakai sidik jari, rekam suara sama rekam wajah segala, apa ini untuk jaga-jaga jangan sampai ada teroris menyusup di kalangan pensiunan, ya?

Saya biarkan ibu turut mendengarkan penjelasan pegawai bank itu, karena sesungguhnya saya juga tidak kalah berpikir keras untuk mencerna informasi tersebut.

Ternyata, bukan hanya membingungkan, informasi itu juga terasa menebar ‘ancaman’. Sebab menurut penjelasan bila ada pensiunan yang abai memenuhi ketentuan tadi selama 3 bulan berturut-turut, maka akan ada sanksinya.

Sanksi yang diberikan tidak tanggung-tanggung, yakni berupa pemblokiran rekening pensiunan yang bersangkutan. Jlebbb… kali ini wajah saya yang ikutan kenceng. Saya tidak tahu pasti bagaimana dengan wajah ibu saat itu, karena saya tidak sempat melirik ke arahnya. Jujur saja kali ini saya bukan lagi sebatas kaget tapi sudah ke arah cemas. Bagaimana mungkin pensiunan ibu yang sudah bertahun-tahun diterimanya bisa terblokir hanya gegara penerapan aplikasi baru.

Spontan saya angkat bicara menanyakan kenapa pola ini mendadak diterapkan tanpa ada sosialisasi sebelumnya. Alih-alih memberi pencerahan sang pegawai malah curhat, “Kurang paham, Bu. Ini aturan dari atas”.

Oalah rupanya yang sedang kebingungan atas program baru itu bukan hanya ibu dan saya saja, tetapi pegawai bank-nya sendiri sebenarnya masih kebingungan juga.

Duh, beneran pengen rasanya saya segera mendongak ke atas untuk melihat ada penjelasan apa di “atas”. Kiranya si mbak pegawai paham situasi, penglihatannya sudah terlatih untuk mendeteksi sekaligus mengendus jalan pikiran customer di hadapannya. Sebab, sedetik kemudian senyum penuh percaya dirinya sudah kembali mengembang di wajahnya.

Dia lantas meyakinkan kami bahwa kebijakan ini dibuat tiada lain untuk lebih mempermudah para pensiunan agar tidak perlu repot-repot mengantri di bank setiap bulan. Karena setelah otentikasi, secara otomatis gaji langsung masuk ke rekening dan bisa diambil melalui mesin ATM

Selain itu, tentu saja ini otomatis semacam solusi proof of life, bukti bahwa para penerima pensiunan masih hidup. Dalam hal ini agaknya pemerintah tidak mau kecolongan.   Bukankah sudah jadi rahasia umum kalau selama ini masih kerap kedapatan keluarga pensiunan bisa memanipulasi surat kuasa dalam pengambilan gaji pensiunan, meski pensiunan yang bersangkutan sudah meninggal sekalipun.

Sepintas program ini terdengar cukup realistis dan sangat membantu. Bagaimana tidak, kalau mengikuti informasi yang diberikan si mbak pegawai bank, hanya berbekal smartphone, ibu saya yang sudah berumur 82 tahun dengan bobot yang hampir mencapai 100 kilogram (berjalan pun sudah menggunakan tongkat) tidak perlu lagi setor muka ke bank saban bulan.

Secara tidak langsung program ini juga turut membantu saya, sehingga saya tidak perlu lagi mengawal sang nyonya besar…xixixi.

Tapi tunggu dulu …! Jangan lupa, bukankah ekspektasi kadang tak selalu sama dengan kenyataan? Ternyata, praktek soal otentikasi tak semudah teori yang dijelaskan. Setelah langsung men-download aplikasinya saat itu juga, saya mulai mencoba dengan memasukkan Notas pensiunan ibu. Lalu masuk ke program didampingi customer servise bank. Hasilnya? Berkali-kali gagal…! Lho, kok?!

Langkah-langkahnya kurang lebih begini: Pertama, isi no Taspen, lanjutkan. Kedua, foto wajah sesuai kotak yang disediakan, beres … lanjutkan. Ketiga, foto retina mata dengan menatap layar atau mengedipkan mata ke layar. Keempat, merekam suara dengan membaca angka-angka yang tertera di layar, lanjutkan.

Langkah kelima, menfoto sidik jari. Ini yang membingungkan sekaligus penentu keberhasilan otentikasi. Yang diambil gambar tidak disebutkan jari yang mana? Yang jelas hanya satu jari yang tertera di layar. Saya sempat bolak balik bertanya. Namun sayangnya pihak bank juga menjawab dengan keragu-raguan.  Sarannya hanya coba seluruh jari satu per satu dimulai dari jari jempol, telunjuk, jari tengah, dst.  Dimulai dari tangan kanan.

Nggak jelas banget kan? Sebalnya, tiap kali gagal, otentikasi harus diulang lagi dari awal. Dan yang tak kurang menyebalkannya terdengar saran dari pegawai bank. “Mungkin nanti bisa baca instruksinya langsung dari aplikasi mobile-nya di rumah, Bu,” katanya seolah mengusir saya dengan halus.
Oke … saya pun mengajak ibu untuk memilih pulang, karena melihat antrian di CS sudah menumpuk dan wajah-wajah pelanggan yang lain mulai terlihat murka.

Sesampai di rumah saya kembali penasaran. Saya ulangi lagi langkah yang sama seperti di bank. Bahkan saya sempat mengintip google, khusus mencari langkah-langkah instruksi sidik jari pada aplikasi ini.  Hasilnya langsung saya terapkan, tapi gagal lagi gagal lagi! dan ibu pun ngambek berat.
Berbagai ocehan keluar dari bibir sepuh itu sambil menyumpahi si pembuat kebijakan. Saya yang berada di dekatnya mau tak mau ikut mendengarkan. Ini sih seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah bete dikerjai aplikasi … plus kena semprot pula, meski maksudnya bukan mengomeli saya pastinya.

Bingung Berjamaah

Hari berganti minggu dan pekan beralih bulan. Hingga saya kembali mengantarkan ibu mengambil dana pensiunan ke bank di bulan berikutnya. Bedanya kali ini saya dan ibu sambil berbekal seabrek keluhan soal otentikasi yang bakal kami semburkan. Tapi belum sempat kami berkeluh-kesah, si pegawai dengan enteng bilang, “Tenang saja Bu, ini baru uji coba, kok. Kita lihat sampai bulan Februari ya.  Untuk sementara Ibu tetap bisa mengambil gaji pensiunan secara manual”.

Duhhh…adem suara si mbaknya. Lewat suaranya seakan dia ingin menyampaikan pesan “Jangan panik, Belanda masih jauh!”. Namun, sepertinya dia enggan untuk tahu bagaimana kami, khususnya saya, yang sudah pontang-panting berjibaku meladeni aplikasi otentikasi yang membingungkan.

Tadinya saya mau segera menyanggah ucapannya yang menyuruh saya tenang, hanya saja saya sudah bisa menduga, si mbak pegawai bank pasti akan meluncurkan pesan-pesan motivasinya untuk jangan lelah mencoba, sebab hasil tak akan mengkhianati proses dst, dst. Duh, males banget dengarnya.
Sampai sebulan kemudian, tepatnya awal Maret lalu, sejak pagi saya sudah kembali menjajal otentikasi melalui handphone.  Hasilnya lagi-lagi FAIL.  Kali ini stok kesabaran saya sudah makin menipis. Dengan terpaksa saya kembali menggiring “nyonya besar” menuju bank.

Lagi-lagi seperti sebelumnya bukan solusi yang didapat, malah kami disodorkan keluhan yang bikin miris.  “Bukan ibu saja yang bermasalah, hampir setiap keluarga pensiunan memuntahkan keluhan yang sama pada kami. Kemungkinan program ini akan ditinjau ulang,” kata pegawai bank.
Lega? Sama sekali nggak! karena justru makin tak jelas arahnya. Ini sih seperti “digantung” karena program tetap berjalan tanpa kepastian. Ya, kalau sambil menunggu ada jaminan bahwa pengambilan manual tanpa otentikasi selama 3 bulan berturut-turut tidak akan menutup otomatis aktivasi rekening nasabah, seperti bunyi peringatan yang mereka buat. Kalau ternyata tiba-tiba terjadi pemblokiran sepihak, siapa yang mau bertanggungjawab? Yang ada pasti akan bikin panik dan susah para pensiunan seperti ibu saya ini.

Kenapa juga pembuat kebijakan tidak mau mengalah sedikit saja. Setidaknya dengan menyederhanakan sistem pengisian aplikasi agar lebih simple. Semisal menghilangkan beberapa langkah dan hanya menyisakan step memasukkan satu sidik jari saja dengan cara menempelkan jari, bukan memfoto.
Saya membayangkan, bagaimana nasib para pensiunan yang jumlahnya jutaan di negeri ini dengan penyebaran penduduk tak hanya tinggal di perkotaan, belum lagi tingkat ekonomi dan psikologis  mereka yang berbeda-beda.

Tidak semua pensiunan juga mampu membeli android, kan? bahkan menggunakannya. Ibu saya saja selama ini menggunakan hape polyphonic, itupun hanya untuk menerima telepon atau SMS.

Lha terus apa kabar pensiunan yang tinggal di pelosok, dalam keadaan fisik sudah sangat sepuh atau sakit-sakitan, berdomisili jauh dari bank, bahkan tidak memiliki satupun keluarga yang menggunakan HP android? Apakah ke depan mereka tetap terancam rekeningnya terblokir dan tidak bisa mengambil haknya?

Pertanyaannya, kebijakan tersebut sesungguhnya berpihak pada para mantan abdi negara atau malah pro pada kepentingan pemerintah sendiri?

Ataukah memang sudah hobinya para pembuat kebijakan di negeri ini melakukan ujicoba aturan tanpa didahului study kelayakan. Ujung-ujungnya ya seperti sekarang ini yang mirip just like test on the water, diterima baik jalan terus … banyak di protes, ya tinggal di kaji ulang! Untuk rakyat kok coba-coba.
(*Penulis buku kumpulan cerpen “Andai Dosa Berbau”)

💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗








(SELOW.CO): Apa yang terlintas di benakmu kalau hari pertama kerja langsung disodori deadline fantastis? Beuh!

“40 SCRIPT SEHARI, PAK?” tanya saya ternganga nyaris tak percaya. Jelas saya syok, sebab baru saja diterima sebagai script writer pada radio swasta bergenre eskekutif muda di Bandarlampung, tapi sudah digabrukin kerjaan sebanyak itu. Wadooow!

Untung kejadiannya sudah lewat beberapa waktu silam. Sewaktu saya masih muda (kalau sekarang kan malah tampak lebih muda, hiks!). Jadi semua tinggal menjadi kenangan yang menyebalkan sekaligus memperkaya pengalaman. Setidaknya semenjak di radio itu saya jadi terbiasa bekerja di bawah tekanan deadline.

Saya masih ingat, ketika mendapat instruksi dari kepala divisi on air saya langsung menggerundel, ‘Huh … enak aja! memangnya menulis itu, gampang?!” Tapi cuma dalam hati, lho. Lha iya lah cuma membatin. Lagian mental saya jelas nggak siap kalau langsung kena pecat persis dihari pertama kerja gegara ngerengkel. Hmmm…nggak banget, kan.

Oh iya, ngomong-ngomong soal profesi script writer radio, belum tentu semua orang tahu, lho. Bahkan saya sendiri meski sudah diterima bekerja sebenarnya belum paham jenis makhluk apa script writer itu, hadeh. Kalau dipikir-pikir nekat banget saya waktu itu. Mungkin ini yang disebut “The Power of Kepepet”
Tapi memang sih yang dipahami kebanyakan anak muda perihal bekerja di radio ya paling mentok seputar cuap-cuap dan itu identik dengan penyiar.

So, waktu dijejali deadline setumpuk, otak saya berasa mendadak migrain. Duh! Kalau tahu begini, lebih asik jadi penyiar, sesal saya. Hanya saja masalahnya ketika apply job vacancy saya lebih pede menjadi penulis script.
Pasalnya, saya merasa terlanjur terlahir dengan suara ngebas, jauh dari suara microponis. Itu anggapan saya dulu loh, tapi belakangan saya baru tahu kalau ternyata warna suara yang berbeda justru bisa menjadi ciri khas tersendiri dan berguna banget untuk beberapa keperluan siaran radio, misalnya buat variasi voice dubber iklan dan news caster.

Balik lagi ke soal script writer.

Singkatnya, profesi ini tiada lain ya menjadi penulis naskah siaran. Jadi gini, para penyiar yang kadang terdengar begitu smart mengolah kata dan informasi rupanya tidak sepenuhnya bekerja sendiri.

Sebelum masuk ruang siaran mereka dibantu penulis naskah dalam menggali ide dan informasi sesuai tema yang akan mengudara. Sehingga ketika on air, penyiar tinggal membacakan dan memilah-milah bahan yang hendak disampaikan kepada pendengar, tapi pastinya juga harus dikombinasikan dengan skill improvisasi dari penyiar itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman saya juga, menjadi script writer itu tidak serumit yang dikira. Apalagi saat saya nulis script di awal bergabung di radio, naskah yang diminta bukan bahan full untuk durasi satu atau dua jam siaran on air. Melainkan hanya menyusun info penting sebagai penyelia informasi supaya acara terkemas lebih berisi.

Setiap info yang dibacakan juga singkat. Satu tema (angel) paling banyak memuat 200-an kata atau setengah halaman kertas A4. Kalau kewajibannya nyusun 40 script, ya berarti kira-kira menulis 20 lembar saban hari.

Untuk menggarap jobdes serupa itu saya didukung perangkat perang yang cukup komplit. Mulai dari akses internet tanpa limit sampai pasokan majalah remaja, referensi mode termutakhir hingga majalah kesehatan. Semua referensi up to date itu datang khusus untuk saya.  Asik kan? Yup …lantaran kudu melahap abis bacaan tersebut  otomatis membikin wawasan saya lumayan terdongkrak.

Beda lagi ketika pindah ke radio bergenre muslim, masih dalam profesi yang sama. Deadline-nya berubah, karena ada beberapa program yang mengharuskan saya menulis semacam cerpen, atau menggarap kisah pengalaman seseorang dalam menggapai hidayah atau perjalanan perkembangan Islam di suatu negeri.

Program sejenis ini yang memang difokuskan untuk dibuatkan scriptnya, sementara segmen itu hanya mengudara seminggu sekali.  Selebihnya, untuk mengisi waktu tersisa, saya diminta menuliskan script berupa info-info pendek sebagaimana di radio sebelumnya.

Profesi Menjanjikan

Untuk orang yang memang menyukai dunia tulis menulis, profesi script writer sesungguhnya pilihan menyenangkan. Bahkan sangat menyenangkan. Kenapa? Karena sambil menulis bisa sekalian me-refresh pikiran yang penat sambil mendengarkan musik yang mengudara.

Malah kalau lagi hoki bisa ikutan cuci mata manakala radio disantroni artis ibukota. Kalau anak zaman now, pasti girang karena bakalan jadi ajang eksis di instagram. Foto sama artis, berasa keren. Iya nggak sih. Sayangnya zaman saya dulu medsos seperti itu belum ada, adanya baru friendster. Jiaah….Ketahuan deh, angkatan berapa kira-kira.

Walau terasa menyenangkan tapi bukan berarti profesi ini tanpa tantangan. Karena bila ditengok dari sisi penulisan, realitanya script writing tak semudah copy paste tulisan dari internet. Sebab ada tuntutan teknik tersendiri dalam menulis script radio. Pada prinsipnya menulis script di sini untuk dibacakan dan didengar. Jadi bukan sekedar asal tulisan enak dibaca.

Lalu ada pula ketentuan lain, misalnya, bagaimana dalam durasi yang sempit harus mampu menyajikan informasi yang apik, lengkap dan tentunya tanpa membuat penyiar ngos-ngosan dan tidak terkesan sedang membaca. Kalau sudah begitu, maka kolaborasi antara script yang bagus dan penyiar yang jago bermanuver bersilat lidah, eh…mengolah kata maksudnya, menjadi penentu keberhasilan sebuah program acara.

Karena menulis untuk didengar dan dibacakan, tak jarang seorang script writer radio juga punya kelemahan. Biasanya sih jadi tak terlalu aware sama kaidah penggunaan bahasa baku yang baik dan benar seperti di pelajaran Bahasa Indonesia. Tak ayal penggunaan diksi umum akan menjadi pilihan utama dengan asumsi biar mudah dipahami khalayak pendengar.
Selain script writer kita juga acapkali dengar istilah copy writer di radio. Lantas apa bedanya dengan script writer? Setahu saya jelas ada perbedaannya. Penugasan serta jenis tulisan yang dihasilkan juga berbeda.

Secara umum kalau script writer melulu menggarap naskah siaran, kontennya disesuaikan dengan tema acara. Sedangkan kalau copy writing lebih kepenulisan untuk iklan. Pada bidang ini justru sisi bahasa marketing-nya yang kudu dipertajam. Penggunaan bahasa yang menjual lebih ditekankan. Output akhirnya berupa pariwara yang direkam atau dibacakan sebagai flash insert.

Tapi berdasarkan pengalaman yang saya tahu kebanyakan script writer juga merangkap sebagai copy writer.
Nah, kalau soal besaran gaji script writer gimana? Sepanjang yang pernah saya jalani, dua kali ganti radio dan berstatus sebagai karyawan staf, insentif yang diterima script writer lebih tinggi ketimbang penyiar lepas atau part time.

Bahkan tak jarang script writer bisa kecipratan rezeki lebih bila sedang menggarap materi iklan yang lagi banyak-banyaknya. Makin cair lagi kalau suara script writer ikut kepakai buat isi iklan.

Aih … kesannya maruk ya? tapi as long as team produksi asik aja recording suara kita, just do it …. explore saja kemampuan diri. Tapi jangan pula kebablasan terlalu ngoyo, supaya deadline nggak keteteran…pokoknya harus tetap cemungut, beib!
(* Penulis Buku “Andai Dosa Berbau”)

💗💗💗💗







(SELOW.CO): “Itu kan sekolah yang hampir seluruh gurunya eks simpatisan hatei (baca HTI) Mak, pendirinya aja pentolan organisasi itu. Kok, kamu malah nyekolahin anak-anakmu di sana, sih?”

DUH, BENERAN kaget saya, tetiba worry ketika suatu hari mendapat bisikan dari seorang rekan. Iya khawatirlah, bagi saya pendidikan anak merupakan hal krusial. Tapi kok ya dilalah saya baru tahu sekarang, setelah anak-anak dua tahun bersekolah. Hadehhh!

Bagaimana tak khawatir coba, Muslim mana sih yang hari ini tidak tahu organisasi macam apa HTI itu. Apalagi pemerintah sudah ketok palu mengeluarkan keputusan pembubaran organisasi tersebut yang dituangkan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2017.

Walau sudah tahu semua itu, anehnya hati saya tidak serta merta tergerak untuk segera pindahin anak-anak dari sana. Kenapa?

Ok, saya jawab jujur. Selain kebentur masalah biaya yang tak sedikit, maklum saja dua anak sekaligus tentu nggak sedikit biayanya. Disamping itu saya juga  mencoba untuk tidak grasa-grusu dan lebih mengukur apa yang saya lihat secara nurani dan logika.

Selama bersekolah di tempat eks simpatisan HTI itu, tidak pernah ada satu sikap pun yang mereka bawa pulang menyangkut tentang doktrin khilafah. Bahkan keponakan tertua saya, yang lebih dulu bersekolah di sana dan telah lulus kemudian mondok di sebuah pesantren di Bogor, sama sekali tidak menunjukkan gelagat “janggal”.

Bahkan kalau mau jujur, sebagai emak-emak yang masih minim pengetahuan agama, saya merasa sangat terbantu dengan pengenalan Islam sejak dini yang diterapkan di sekolah tersebut. Sungguh, pengalaman yang tak pernah saya dapat semasa di bangku sekolah dahulu.

Oke, saya ceritakan secara umum deh, pola ajar seperti apa yang diterima anak-anak saya dari sekolah. Sejak awal masuk sekolah mereka telah diajarkan adab-adab sesuai sunnah, mulai dari menjaga pandangan, makan-minum dalam Islam, tidak berkhalwat bermain bercampur baur bersama lawan jenis, sampai bertutur kata yang baik.

Soal ibadah jangan ditanya, buktinya anak kelas 1 sekolah ini sudah tak asing lagi dengan ibadah sunnah shaum Senin-Kamis, tahajud, dan dhuha. Nah, kalau sunnahnya saja terjaga, sudah barang tentu ibadah wajibnya otomatis dijalani.

Oh iya, murid di sekolah ini juga sudah paham dengan aturan penggunaan hijab yang benar sesuai surat Al Ahzab 59 dan aN Nur 31. Maka jangan heran kalau mata polos mereka tiba-tiba terbelalak saat melihat ada wanita berkerudung namun masih berlegging ria tanpa kaus kaki, serta merta mereka bakal mengucap, “Al hayya u minal iman!”, malu itu sebagian dari iman. Ya, karena mereka paham betul, aturan jilbab serupa gamis panjang dan khimar yakni kerudung yang harus melampaui dada.

Meski sudah merasa yakin anak-anak saya aman di sekolah itu, namun sebagai emak-emak rasa kepoan saya terbilang sumbu pendek, mudah terpantik. Untuk memenuhi hasrat ingin tahu lebih lanjut saya pun beberapa kali mengikuti majelis yang lagi-lagi katanya dibina oleh eks kader hatei itu.
Ternyata semakin banyak berinteraksi dengan mereka, semakin apa yang saya khawatirkan tidak ditemukan. Ya jelas sebab isi taklim mereka cuma seputar kajian fiqih, siroh, hadist dan muamalah. Dimana letak makarnya? Saya malah bingung sendiri.

Sebaliknya, saat mengetahui saya sering bolak-balik mengikuti majelis mereka, justru kerabat saya yang merasa ketar-ketir, sampai akhirnya sebuah pesan WhatsAp masuk darinya. “Tante sekarang ngaji di hatei? Jangan kesana lah … pilih yang nyunnah aja”. Ups! Pikiran saya kembali terusik. Tapi saya tetap anteng, menimpali kegusaran kerabat itu dengan senyuman.

Fuiih panjang ya uraiannya yang jelas saya bukan simpatisan, bukan juga kader hatei. Hanya seorang Muslimah yang mungkin imannya setipis kertas, dan sedang mencoba menggali informasi sekaligus berupaya meluruskan opini sesuai fakta.

Tapi satu hal yang menenangkan… inshaAllah anak-anak saya berada pada tempat yang aman, tak perlu khawatir berlebihan.
(*Penulis Kumpulan Cerpen “Bila Dosa Berbau”)
FacebTwitpLin
e

No comments:

Powered by Blogger.