Essai @selow.co
(SELOW.CO): Ups! Agak terhenyak juga tetiba diminta jadi juri lomba menulis cerpen di sekolah anak sendiri. Kenapa syok? Sebab saya pikir masih banyak penulis lain yang bisa dijadikan sebagai bahan rujukan dan sudah pasti lebih kredibel.
TAPI SAYANGNYA, para panitia tetap kekeuh menjatuhkan pilihan ke saya, hanya dengan alasan saya sudah menelurkan satu buku… Duh! Baru satu lho bukunya…Kok langsung main percaya aja dengan kemampuan saya?
Gimana kalau saya nggak adil. Apalagi anak sendiri juga menjadi bagian dalam barisan peserta? Hehehe. Ah, mungkinkah mereka punya keyakinan bahwa sebagai penulis buku “Andai Dosa Berbau” lantas saya tak akan berbuat dosa dengan bertindak curang karena takut dosa saya nanti menguarkan bau anyir? Begitu kira-kira saya menebak jalan pikiran panitia.
Oke skip. Lima belas hasil karya anak-anak tergeletak di atas meja. Hasilnya sedikit membuat terpana. Tiga cerpen saya diskualifikasi. Tiga lainnya bikin saya mengetuk-ketuk meja karena kebingungan memutuskan apakah ini masuk kategori plagiat atau tidak?
Secara Kaidah Baku Bahasa Indonesia (KBBI) plagiarisme atau disingkat plagiat diartikan sebagai pencurian karangan milik orang lain. Dapat juga diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain yang kemudian dijadikan seolah-olah milik sendiri.
Sebenarnya banyak sekali kategori plagiat dalam berbagai referensi. Seperti pada Pengantar Penulisan Ilmiah karangan Felicia Utorodewo dkk. Di sana disebutkan beberapa hal yang dikategorikan sebagai plagiarisme, semisal:
Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya.
Atau meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan meringkas serta memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Nah, kalau kasus anak-anak ini, beberapa karya termasuk pada kategori yang pertama dan sebagian lagi kemungkinan yang terakhir.
Teringat beberapa waktu lalu berkaitan dengan masalah serupa. Kasus yang menimpa ANF, terduga plagiator yang justru malah diundang ke istana negara sebab status FB-nya yang berjudul “Warisan” yang menjadi buah bibir.
Dugaan ini tentu beralasan, didasari oleh postingan seseorang beridentitas berbeda dengan tanggal dan waktu jauh sebelum kemunculan tulisan ANF. Dari segi redaksional terdapat kemiripan nyaris 90 persen dari kedua postingan tersebut, bahkan sama hingga titik koma. Kalaupun ada perbedaan, hanya ada sedikit penambahan paragraf baru pada bagian terakhir. Sayangnya, ANF bersiteguh karya itu murni buah pemikirannya.
Lupakan dosa besar yang membayang jikalau memang ada yang berbohong. Kebayang kan dampak dari ketidakjujuran dalam kasus ini? Siapa yang terkenal dan bisa jadi penulis aslinya malah hanya gigit jari menonton diam-diam dari kejauhan.
Padahal soal plagiat sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Tapi entah karena tak ingin bersinar, atau memang terlalu takut berhadapan dengan masalah hukum, ternyata tidak pernah ada complain. Akhirnya kita kurang dapat penjelasan lebih lanjut tentang benarkah ada “pencaplokan” karya dalam peristiwa tersebut.
Kasus lain pernah dialami oleh sesama anggota Komunitas Literasi (juga) di medsos. Cerpen hasil karyanya di-copy paste kemudian dimuat pada sebuah situs lalu penulisnya diganti dengan nama orang lain. Tujuannya apa sih? Ya jelas UUD, Ujung-Ujungnya Duit … honor kepenulisan. Selain itu ya harapan dikenal khalayak sebagai penulis kan keren (kayaknya )… ehm.
Balik lagi ke soal penjurian lomba penulisan di sekolah anak saya. Alhasil, pemenang lomba sudah saya tentukan. Namun masih menyisakan PR (pekerjaan rumah) bahwa ke depan mungkin memang perlu ada edukasi pada anak-anak terkait plagiarisme baik di dunia literasi atau bidang lainnya.
Sehingga bila sudah dibekali pemahaman semenjak dini sangat mungkin berperan dalam menekan munculnya kembali kasus-kasus plagiarisme, dan membuka jalan lebar bagi munculnya penulis-penulis andal yang murni ber-ide cemerlang.
Kalau bagi saya pribadi jelas, plagiarisme selain dosa besar juga merupakan masalah yang harus disikapi serius. Memang awalnya hanya menjiplak, bisa jadi berakhir pada klaim suatu karya. Namun kalau didiamkan dan malah membudaya, nggak mustahil besok lusa ada pemimpin yang mengklaim karya orang lain sebagai mutlak hasil jerih payahnya sendiri, eh….keceplosan.
(*Penulis Buku “Andai Dosa Berbau”)
💗💗💗💗
(SELOW.CO): Jadi korban bullying memang nggak enak, tapi apalah daya sepertinya kebiasaan mengejek sudah membudaya.
SEDARI KECIL saya punya banyak julukan “keren” diantaranya si jenong, tomboi, ayam sayur karena kerap sakit, sampai kutilang darat (kurus tinggi langsing *maaf dada rata). Kejam memang predikat yang disematkan, bahkan sempat membuat saya minder dan perlahan jadi pribadi yang introvert.
Kenapa sekarang berubah hampir 180 derajat? Orangtua yang pasti punya peranan penting untuk mengarahkan saya lebih berfokus pada potensi diri, daripada terus-terusan sedih merasa dilecehkan.
Setelah puluhan tahun berlalu, hampir bisa dibilang saya sudah melupakan semuanya, bahkan membayar lebih pandangan miring dengan prestasi yang saya torehkan. Nggak ada dendam dengan teman kecil yang dulu berada pada deretan si pembully. Bahkan kami pernah tertawa bersama dalam berkendara ketika bertemu di jalan dan mengingat masa-masa itu.
Tentu saja, karena ejekan itu hanya sebatas ucapan, tidak berlanjut pada kekerasan fisik. Meski pada dasarnya bullying bukan perilaku terpuji yang bisa dibenarkan. Atau, mungkin saja karena korbannya setangguh saya? Ups!
Bayangkan jika dialami oleh mereka yang rapuh, lalu dibesarkan dalam keluarga yang minim perhatian? Duh! … seram.
Malah ada loh kawan sekolah saya dulu -dari keluarga tajir melintir- yang sampai bela-belain oplas demi merubah salah satu bagian wajahnya karena kerap di bully semasa kecil. Tapi apa masalahnya selesai begitu saja? Karena bagaimanapun juga bisik-bisik di belakang nggak bisa dihentikan.
Oh iya, pernah baca buku Rooftopbuddies karya Mbak Hanny Dewanti? Novel teenlit yang isinya tentang remaja yang ingin bunuh diri karena kerap dibully. Di situ diceritakan, bagaimana perasaan sang tokoh yang kerap diremehkan dan dendam yang perlahan tersulut di hatinya. Namun karena kurang dukungan keluarga dan ketidakberdayaan, akhirnya sang tokoh sempat memilih mati agar seluruh permasalahannya selesai.
Menariknya, sebelum sang tokoh memutuskan loncat dari atap gedung, dia bertemu seseorang-korban senasib dan seide (sama-sama hendak bunuh diri dan melompat dari atap gedung meski masalahnya beda). Keduanya akhirnya sepakat memutuskan menunda rencana mati, dan melakukan 10 hal yang paling diinginkan selama hidup sebelum benar-benar bunuh diri bareng.
Selanjutnya gimana? iish, kok jadi promosi buku ?! bukan ke sana opini yang mau saya giring, tapi menitikberatkan bahwa bullying itu jahat dan bisa berakibat fatal pada kejiwaan si korban.
Seperti kasus bully (Audrey) teranyar yang tengah viral dan membuat kita terhenyak berjamaah, lantaran ulah remaja pengeroyok usai terlibat sindir menyindir dengan korban di medsos.
Entahlah, saya tidak mau berkomentar banyak atau serta merta menghakimi pelaku, karena kasusnya memang masih simpang siur dan bagaimanapun biarlah proses hukum yang berjalan.
Yang jelas, peristiwa ini menjadi tamparan bagi semua bahwa ejek-mengejek bukan hal yang patut diremehkan. Gak usah berkoar-koar dulu ini tugas pemerintah yang sudah salah dari awal membuat sistem pendidikan yang hanya terfokus pada nilai akademik ketimbang membentuk karakter.
Setidaknya sebagai orangtua, sudahkah kita mendidik anak-anak agar tidak menjadi pelaku bullying? Sebab banyak orang hanya pandai menilai, memaki bahkan mengecam, padahal nggak sadar diri sering juga menjadi pelaku.
Orangtua kadang nggak sadar jadi teladan buruk, sehingga anakpun merasa sah-sah saja menyematkan gelar buruk pada temannya. Contoh simple, cermati keseharian saat mengawal kegiatan bersekolah anak. Adakah emak-emak yang teriak semacam ini, “Tupol (Ratu ngompol) … bukunya sudah disiapkan belum?” Nah kan?!
(*Penulis Fiksi)
💗💗💗💗💗💗💗
💗💗💗💗💗💗💗
No comments: