Tahun Baru Islam Sebagai Momentum Hijrah Kaffah

September 06, 2019
Sumber: google

Beberapa hari yang lalu, umat islam merayakan tahun baru 1 muharram 1441 H.  Hampir di setiap penjuru negeri memperingatinya dengan parade mengibarkan bendera tauhid di sepanjang jalan protokol kota, tak terkecuali Bandar Lampung.

Semangat tahun baru sejak zaman kerasulan bukan hanya dimaknai sebagai pergantian tahun, melainkan sebagai tonggak hijrah menuju kebaikan.  Kata hijrah secara entomologi berasal dari Bahasa Arab hajarah, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat.

Dalam sejarah islam, Tahun Hijriyah ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab Ra, sebagai ganti dari Kalender Tahun Gajah ataupun Kalender Persia, dan Romawi, serta penanggalan sebelumnya yang digunakan bangsa Arab merujuk pada peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Khalifah Umar sengaja memilih peristiwa pindahnya Rasulullah dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah dalam misi terus menyebarkan islam di tanah arab, kemudian meluas ke penjuru dunia.

Hijrah dalam islam berarti meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya, dalam pengertian kongkrit menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menjadi larangan Allah dan segera menaati perintahnya tanpa tapi.

Perintah berhijrah tertulis dalam firman Allah SWT, surat Al-Baroqoh ayat 218.

 "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Islam mengenal 3 macam Hijrah.

1. Hijrah individu

Yaitu hijrahnya seseorang sebagai hamba Allah.  Definisi hijrah individu terdiri dari;


* Hijrah Makaniyah 


Lebih bermakna perpindahan tempat, seperti halnya peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.

* Hijrah Maknawiyah

Bisa mengandung empat pengertian, yakni;

Pertama, Hijrah i'tiqadiyah.  Diartikan sebagai meninggalkan keyakinan yang lama berganti dengan islam.

Kedua, Hijrah Fikriyah, maksudnya perubahan dalam hal pemikiran. Dari yang sebelumnya segala tindakannya tidak berdasar ketentuan Allah, misal pemikiran liberal dan atheis menjadi mengembalikan segara urusan kepada aturan Allah dan rasulnya.

Ketiga, Hijrah Syu'uriyah, dalam artian perubahan individu  dari segi cita rasa, selera yang sebelumnya belum bersadarkan aturan agama menjadi lebih islami. Misal dalam hal selera musik, makanan, idola dan pakaian.

Keempat, Hijrah Sulukiyah, perubahan akhlak seseorang dari yang sebelumnya jauh dari aturan islam misal pendosa, penjudi, pencuri, pemabok, berzina, dsb menjadi pribadi yang akhlakul karimah.

2. Hijrah masyarakat

Perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat dari yang sebelumnya jahiliyah menjadi cenderung pada ketaatan hakiki.

Sebelum Rasulullah berhijrah keadaan masyarakat Arab cenderung jahiliyah,  meski di antara mereka banyak meyakini keberadaan Allah sebagai pencipta jagat raya, namun pada prakteknya mereka masih melaksanakan praktek syirik, membuat perantara seperti berhala dalam hal penyembahan.

Setelah Rasulullah menegakkan Daulah islamiyah, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat berubah, baik secara akidah, sosial, ekonomi bahkan politik.

3.  Hijrah Negara


Hijrah negara diartikan sebagai perubahan sistem bernegara yakni dari sistem jahiliyah menuju syariah islam.

Al Maidah 50 -51

Hijrah Individu Tanpa Hijrah Masyarakat dan Negara

Jika dikembalikan dengan keadaan bangsa saat ini, tanyakan nurani apakah negara ini tengah baik-baik saja? dari segala aspek soial, budaya, politik bahkan ekonomi, semuanya menunjukkan kemunduran.

LGBT merajalela, pornografi, korupsi, kriminalitas, pemikiran liberal dan konsumerisme, kapitalisme terus meracuni pemikiran sebagian besar umat islam dan menyeruak sebagai akar dari berbagai masalah yang terjadi silih berganti. Riba merajalela sebagai sesuatu yang sudah dianggap biasa. Bahkan sekarang ini sebagian ulama sudah mengibaratkan kondisi yang terjadi sebagai  jahiliyah modern.

Hijrah Individu akan terasa makin berat seperti menggenggam bara api, tatkala kesadaran masyarakat dalam aturan islam tidak ditegakkan. Meskipun konon mayoritas penduduk negeri ini didominasi oleh umat muslim.

Contoh kecil, ketika ingin berhijab sempurna, tak jarang seorang muslimah merasa asing, sebab masyarakat tidak paham aturan yang terkandung dalam surat an nur 31. Kalaupun sudah berhijab syari kebanyakan baru sebatas syu'uriyah bukan akhlak keseluruhan.

Saat para orang tua ingin anak-anak bergaul di lingkungan islami, disekolahkan di lembaga pendidikan islam ... namun ketika kembali ke tatanan masyarakat yang masih cenderung jahiliyah, baik dari segi berbusana, gaya bicara, cara makan dan minum, maka mereka pun dengan mudahnya melupakan aturan Allah dan mengikuti kebiasaan umum yang tak islami.

Tatkala seseorang berazzam menjauhi riba, namun terpaksa masih tetap terkena debunya ... sebab sistem perekonomian negara masih kapitalisme, dengan perbankan dan lembaga ribawi masih menjamur sebagai alternatif utama cara bertransaksi.

Yang terbaru, ketika desertasi seorang doktor mengenai hubungan seksual tanpa nikah yang disimpulkan dalam tulisannya berdasarkan pemikiran diri dianggap halal, padahal aturan islam dalam hal zina sangat jelas.  Ke mana peran negara sebagai pelindung umat?

Intinya hijrah bermasyarakat dan sistem negara akan lebih baik jika saling seiring sejalan dengan hijrah yang dilakukan oleh individu. Masalahnya ini tak semudah membalik telapak tangan.  Perlu proses panjang, dan perjuangan yang berat dalam medan yang tak mudah.

Meski begitu, tugas kita sebagai mukmin hanya satu. Taat saja tanpa tapi, taat tanpa nanti.



*dirangkum dari kajian Muslimah Cinta Islam ditambah berbagai sumber pendukung


#odop
#estrilookcommunity
#day6

No comments:

Powered by Blogger.