Perjalanan Hijrah Seorang Mega

September 08, 2019

Sekitar tahun 1998 tepatnya ketika memasuki kuliah semester tiga, di ramadhan hari pertama tahun itu adalah momen bersejarah dalam peristiwa hijrahnya saya secara syu'uriyah-gaya berpakaian. Hari itu adalah tonggak awal saya melangkahkan kaki ke kampus dengan mengenakan hijab.  Sempat menangkap keterkejutan beberapa pasang mata melihat saya kala itu. Geli sendiri kalau diingat kembali.  Harap maklum, image saya sebelumnya adalah mahasiswi tomboi, yang kerap bergaya cuek sering berkemeja atau berkaus oblong dan bercelana jeans layaknya lelaki.

Satu dua teman ada yang bertanya-tanya sebab apa yang membuat saya berhijrah? Duh, malu rasanya kalau mengakui dengan jujur. Niatan awalnya memang kurang lurus. Saya ingat betul keinginan kuat menutup aurat pertamakali justru sebenarnya didasari oleh naluri meredam kekhawatiran emak saat melihat anak perempuannya berpenampilan cenderung tomboi.  Jujur, pusing diomeli terus tentang kekhawatiran kalau anak gadis satu-satunya ini gak bakalan dapet jodoh karena casingnya yang meragukan. 😂

Selain itu, kesadaran akan perintah ayat yang terkandung dalam An Nur 31, dan Al Ahzab 59 sebenarnya sudah nyangkut di kepala hanya saja belum dikaji tuntas.  Ini tercermin dari gaya hijab yang dikenakan saat itu yang masih alakadarnya sebatas pembungkus tubuh.

Nggak ada cerita dramatis seperti ancaman dari orang tua yang gak setuju saya berhijab atau touching moment saking ingin berhijab sampai pinjem kerudung teman or menunggu sahabat yang iba lalu menghibahkan pakaian panjangnya, sebab bisa dibilang saya sudah well prepare sebelum menentukan hari bersejarah itu. 

Cobaan pertama muncul usai kelulusan, ketika suatu hari mengikuti tes wawancara di sebuah maskapai penerbangan di Jakarta. Sang interviewer terang-terangan meminta kesedian saya melepas hijab jika bergabung dalam tim kerjanya. Dengan kemarahan yang menggunung saya memilih keluar dari kantor itu sebelum memulai kontrak kerja. Sempat kecewa berat, merasa sia-sia meluangkan waktu, menghabiskan biaya dan tenaga untuk memenuhi panggilan interview yang hasilnya mengecewakan, andai mereka tahu saya harus menyeberangi selat sunda demi posisi yang saya incar.

Sempat terpuruk lama dan menyimpan kesal di dalam hati karena ibu sendiri kerap meminta saya melepas kerudung demi pekerjaan.  Alasannya sejak peristiwa wawancara menyebalkan itu, berkali-kali pula saya menemui kegagalan di sejumlah tes dan interview kerja berikutnya.  Menurutnya, hijab mungkin sumber masalahnya. Waktu itu penggunaan hijab memang belum merebak bahkan jadi trend mode seperti sekarang.  Emak sempat beropini, kalau saya kekeuh mau berhijab tak mengapa, toh bisa di luar jam kantor saja. Yang penting keterima kerja dulu, setidaknya meringankan beban orang tua.  What!? Hijab kok kayak portal, buka tutup sesuai keperluan. No, saya gak mau.  Dalam hal ini kami sempat tak sejalan.

Saya tidak mutlak menyalahkan emak, sebab memang pemahamannya masih sebatas itu.  Namun keyakinan saya kuat, ingin membuktikan diri kalau janji Allah pasti.  Dia akan memberikan jalan keluar terbaik.

Akhirnya Allah ijabah doa saya dengan diterimanya saya bergabung di Radio MQFM Bandar Lampung selang beberapa bulan sesudahnya.  Seperti menemukan oase di padang pasir, di sinilah tempat yang memuaskan dahaga akan ilmu agama dan lingkungan kerja yang islami.

Meski begitu, naluri as a rebel masih tersisa.  Kerapkali saya mengabaikan sindiran beberapa krew lain yang mengkritik penampilan saya ke kantor yang masih menarik jilbab ke belakang, mengenakan celana jeans tanpa berkaos kaki.  Bagi saya kala itu, that's my style. Pekerjaan hanya butuh sikap profesional dan kedisiplinan, sementara penampilan gak ada hubungannya dengan etos kerja.

Namun, jabatan fulltime as scriptwriter membuat saya hampir setiap hari berkumpul di lingkungan yang selalu mengingatkan akan kebaikan,  menuliskan tentang tsaqofah islam baik dalam hal hukum fiqih, muamalah, dunia islam, shiroh nabawiyah, dsb perlahan menggeser hati yang keras, ibarat batu yang diteteskan air setiap hari.  Pelan-pelan sudah mulai mengenakan khimar menutupi dada, dan sesekali menggunakan rok (masih 2 pieces).

Proses terus berjalan, suatu ketika mantap berhijab syari meninggalkan celana jeans menggantikan isi lemari dengan gamis lurus satu potongan panjang dan kaus kaki, ketika sudah resign sebab menikah dan mengikuti suami bertugas.

Saat itu ketika stay di Depok, suami yang kebetulan dipertemukan Allah dengan cara yang ajaib, ujug-ujug datang ke Radio MQFM tanpa taaruf tetiba mengingatkan, "kok jilbab dan kerudung kamu semakin pendek setelah menikah? Gak kayak di MQ waktu saya kenal setidaknya pakai rok dan khimar menutupi dada".

Setelah Pak suami bilang begitu sempet interospeksi diri, memang sih ... sejak keluar dan gak bekerja secara penampilan saya jadi cuek lagi.  Bukan dalam artian lepas total, tetapi mengalami kemunduran karena kembali mengenakan jilboobs.

Banyak-banyak istigfar-lah saya setelah itu dan merasa beruntung telah diingatkan.  Selepasnya, sayapun mencoba meluruskan niat lagi betul-betul menggunakan hijab syari atas dasar perintah Allah, demi kebaikan diri sendiri, meringankan beban suami, ayah, anak lelaki dan abang tercinta dalam hidup saya.

Setelah kesadaran dalam hal berpakaian sesuai aturan Allah menjadi kebiasaan, belakangan muncul keinginan baru, kapan hijrah secara fikriyah saya dapatkan?

Sepertinya harus secepatnya ... seiring keinginan untuk terus belajar dan belajar. 😊😊

#odop
#estrilookcommunity
#day8

22 comments:

  1. Masyaallah. Tahun segitu memang masih asing ya, jilbab. Semoga dimudahkan Allah untuk meraih ilmu agama-Nya

    ReplyDelete
  2. Wah keren banget mbak memutuskan berhijab, dan pede menghadapi ekor mata teman-teman kampus yang melihat terus...

    ReplyDelete
  3. Awal pake hijab msh yg gaul😂 cm dl mgkn mah jarang makanya rada aneh

    ReplyDelete
  4. masya Alloh smoga dimudahkan segala niat baikny y kak ^^ 🌟

    ReplyDelete
  5. Aku berhijab begitu aja, tanpa sebab yang jelas. Tiba2 ingin berhijab, belum syari masih hijab kekinian tapi alhamdulillah proses hijrah secara perilaku dan psikologis makin baik :)

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ya mb. Iya gak papa terus bproses 😘

    ReplyDelete
  7. Masya Allah... Jadi ingat proses hijrah saya :)
    Dlu zaman SMA tahun 95an udah sering diajakin teman berjilbab, tapi tetap belum mantap, padahal sudah tahu ada ayat yg mewajibkannya. Alasanku adaa aja, yg belum punya baju panjanglah, belum siaplah, dll. Kuliah juga masih tomboi pake jeans & kaos oblong.
    Baru mantap berhijab akhirnya pas bulan Ramadhan thn 2000an klo ga salah. Tiba-tiba aja hati ada yg membisikkan utk berhijab :) Begitulah klo Allah sudah memberi hidayah ya mbak...

    ReplyDelete
  8. Ingat pada saat pertama kali pakai hijab. Ketika ditanya, bagaimana cari suami? Kujawab, yah, cari suami yang ingin istri berjilbab lah. Alhamdulillah dikabulkan Allah

    ReplyDelete
  9. MasyaAllah mbak Mega, aku salut sama cerita hijrahnya waktu sharing pas bedah buku "Andai Dosa Berbau". Keep istiqomah ya mbak. Dan semoga Allah selalu mudahkan jalannya. Aamiin

    ReplyDelete
  10. Adik kelas saya berarti, saya 1998 sudah skripsi hihi
    Semoga dimudahkan harapan hijrahnya secara total Mbak..Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe salan hormat kk. Aamiin

      Dia yang sama ya buat kk

      Delete
  11. Masya Allah, kisah hijrahnya inspratif. Pastinya hal-hal yg berkaitan dg hidayah memang tak terlupakan dan sebaiknya ditulis untuk memotivasi orang lain. Barakallah :)

    ReplyDelete
  12. MasyaAllah..semoga selalu semangat dalam hijrahnya mbak. Aku pun juga sedang istiqomah mbak, walo belum percaya diri kalo pake gamis namun sdh setia dengan rok

    ReplyDelete
  13. Memang yang paling susah setelah hijrah itu ya istiqomah. Untung ada suami yang selalu mengingatkan...

    ReplyDelete

Powered by Blogger.