Kembara Rindu ; Memakmurkan Pusaka Leluhur sebagai Implementasi Tauhid Menjaga Agama Allah

September 17, 2019

"Gunung Pesagi menjulang di kejauhan, puncaknya dibalut awan. Matahari temaram.  Angin dingin berembus kencang.  Di atas kubah Masjid Bintang Emas yang mengerucut keemasan, sepasang burung jalak menari berkejaran."

Sebuah opening indah yang langsung menerbangkan seluruh daya imagi saya pada view pegunungan yang indah di Lampung Barat.  Ya, setting buku ini memang sebagian besar menyuguhkan cerita yang berlatar belakang budaya di daerah Liwa dan sekitarnya.  

Semakin tenggelam dalam kata per kata maupun bab demi bab, membuat saya seolah melebur dan terhisap menjejaki alur cerita tanpa mampu berpaling lama.  

" ... dalam pengembaraan mengarungi kehidupan dunia ini, jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu.  Orang-orang yang rindu pulang, .... Orang yang didera rasa rindu, tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin cepat-cepat sampai rumahnya. Sebab, ia ingin segera bertemu orang-orang yang dicintainya, ..." (hal 61)


Secara garis besar buku ini menceritakan perjalanan seorang Ainur Ridho, atau Udo Ridho dalam mengemban amanah menjaga keluarga dan pusaka leluhur berupa Masjid di Desa Kelahirannya Way Meranti, Liwa, Lampung Barat.

Udo Ridho awalnya merasa berat meninggalkan pondok pesantren Darul Falah, tempatnya menimba ilmu sekaligus menjadi khadim Kiyai Nawir sang guru yang selama ini sudah seperti keluarga sendiri di Desa Sidawangi di kaki Gunung Ceremai, Cirebon.  

Namun, amanah mesti ditunaikan.

Berbekal ilmu dan sedikit uang yang diperoleh dari sang guru, Udo Ridho akhirnya kembali ke kampung halaman, mencoba menapaki kehidupan baru bermasyarakat.

 "Kita seperti orang bepergian di dunia ini, orang yang mengembara. Dunia ini bukan tujuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita harus memiliki kerinduan yang mendalam kepada Allah, ..." (hal 61)


Adalah Syifa sang adik sepupu Udo Ridho yang selama ini berjibaku menjaga Kakek Jirun, Nenek Zumroh, dan Nenek Halimah, keluarga yang masih tersisa di Way Meranti semasa ia menuntut ilmu.  Syifa memiliki sejarah panjang keluarga yang belum terurai sampai akhir cerita. Sekembalinya sang kakak sepupu, praktis kehidupan Syifa menjadi tanggungjawab Ridho sebagai kepala keluarga.

Di awal masa kepulangan, dua saudara Udo Ridho dan Syifa terus terjuang bahu-membahu mengatasi beban ekonomi akibat hutang pengobatan kakek Jirun yang telah koma berbulan-bulan.  Mulai dari menjual gorengan, ayam bakar sampai bakso yang harus dijajakan keliling kampung.  Ikhtiar mengais rezeki terus mengalami konflik dan belum juga membuahkan hasil yang menggembirakan.
Sementara modal pemberian sang guru telah ludes.

Dalam kemelut menghadapi masalah keuangan, Udo Ridho tetap meluangkan waktu mendampingi anak tertua Kyai Nawir, yakni Kyai Sobron menemui salah seorang guru sekaligus sahabat lama sang guru, Kyai Harun di daerah Gisting, Tanggamus.  Selepas pertemuan yang seolah menjadi wasilah, Udo Ridho mengamalkan empat petuah sang kyai yakni salah satunya menjaga pusaka peninggalan kakek buyut berupa Masjid di desanya.

" ... Kalau kamu ingin hidup sukses mulia, kamu harus pegang erat-erat pusaka itu. Jangan kau telantarkan pusaka itu.  Bahkan kalau kau cari rezeki, ada di dekat pusaka itu. Makmurkan masjid depan rumahmu itu! Kau makmurkan rumah allah, maka Allah akan makmurkan hidupmu! Jangan khawatir tentang rezeki Allah ...," (hal 214)

Dan janji Allah adalah pasti bagi siapa saja hambaNya yang memegang teguh dan mengamalkannya.  Ikhtiar ridho mulai membuahkan hasil. Jalan rezeki mulai terbuka dari berbagai arah.

Akan tetapi cerita tak selesai sesederhana itu.

Kehadiran sosok Diana anak bungsu sang guru Kyai Nawir yang berkarakter pembangkang dan Lina seorang gadis ningrat berbudi luhur yang ada kaitannya dengan sejarah keluarga Syifa di sekitar kehidupan Udo Ridho makin mempertajam konflik dan menyemarakkan suasana. Jadi menebak-nebak Udo Ridho kira-kira nantinya melabuhkan hati pada siapa, ya? Ehm ...

Bagaimana kisah lengkapnya? tentu saja harus dituntaskan dengan membaca kisah selengkapnya dalam Kembara Rindu - buku 1 (Dwilogi Pembangun Jiwa).

#KembaraRindu disajikan Kang Abik dengan sangat kuat, apik, spesifik dan mendetil, baik dari sisi karakter penokohan, maupun setting cerita.  

Sempat seolah benar-benar mengikuti perjalanan pulang Ridho dari Cirebon hingga kembali ke kampung halaman. Melebur menapaki jalanan dari pekon Way Meranti menyusuri jalan di pesisir barat Lampung sampai di daerah Gisting, Tanggamus ketika Uda Ridho harus menemui Kiyai Harun.  Pun serasa ikut menyesapi lezatnya pandap, sayur ikan tempoyak khas yang tentu saja pernah saya cicipi kala mengunjungi wilayah Lampung Barat beberapa tahun lalu. 

Cukup bangga sekaligus malu ketika membaca buku ini dan mendapati setting cerita berlatar belakang tanah kelahiran Lampung.  Malu rasanya sebab saya pribadi sebagai putra asli daerah Lampung, belum pernah mencoba mengangkat bahkan mampu mempersembahkan sebuah karya indah yang berlatar belakang budaya tanah kelahiran dengan alur yang sarat ilmu dan hikmah seperti halnya Kembara Rindu karya Habiburrahman El Shirazy atau Kang Abik ini.

Semoga hadirnya buku ini melecut ghirah para penulis lain untuk mengusung tema budaya berlatar belakang daerah setempat untuk meramaikan literasi sastra Indonesia. *tak terkecuali saya.

Sangat menanti kelanjutan dari kisah Udo Ridho, Syifa, Diana dan Lina di buku kedua ...  semoga penantian tidak berujung lama  😍😍

*****

Judul       : Kembara Rindu
Penulis   : Habiburrahman El Shirazy
Jumlah Halaman : 266
Penerbit : Republika Penerbit
Editor     : Triana Rahmawati
Cetakan : September 2019



#odop
#estrilookcommunity
#day15



No comments:

Powered by Blogger.