Andai Dosa Berbau

June 30, 2019


Gelap yang lindap masih memeluk penghujung malam. Suara kokok ayam jantan belum juga memecah kesunyian. Hanya selingan bunyi jangkrik yang kerap bernyanyi minor tanpa saingan.
Zaldi melirik ke kiri dan ke kanan seolah memastikan tidak ada yang melihat sosoknya masuk menuntun motor ke sebuah rumah mungil bepekarangan luas. Andai saja orang tahu detak jantungnya yang memburu, tentu mereka akan menutup telinga rapat-rapat. Ia mengusap keringat yang berleleran di sela-sela kedua pipi dan telinga. Aneh, udara dingin dini hari justru tak mencegah keringatnya berhenti bercucuran. Perlahan pemuda itu memutari rumah menuju halaman belakang dan hilang di balik rimbunnya pepohonan.
"Cepat, sembunyikan dulu motor ini .. nanti kalau keadaan sudah aman bisa dijual dan hasilnya kita bagi sesuai perjanjian," bisiknya perlahan.


Pria berkulit hitam berperawakan kurus dengan rambut ikal itu hanya mengangguk tanpa suara. Diusapnya motor yang masih terlihat mengkilap itu dengan mata berbinar.
Dengan tergesa Zaldi berbalik keluar, lalu bayangannya lenyap di balik kegelapan.
***

Fajar menyingsing seiring seruan shalat yang terdengar saling bersahut-sahutan. Panggilan Allah menggerakkan para muhajid melangkahkan kaki menembus sisa-sisa dinginnya malam demi dua rakaat pembuka hari.
Masih setengah mengantuk Zaldi mengikuti shalat berjamaah sekaligus ceramah seusai subuh di masjid yayasan sebuah pesantren tempat ia bekerja. Baru dua bulan ia bertugas sebagai penjaga kebersihan sekitar masjid dan rumah Pak Kyai pemilik pondok. Baginya ini hanya pekerjaan sementara, setelah uangnya banyak terkumpul, ia ingin secepatnya kembali ke desa, membelikan ibunya sepetak tanah dan mulai bertani seperti almarhum ayahnya dulu. Setidaknya bagi Zaldi sekembalinya nanti, kehadirannya harus dapat memperbaiki ekonomi keluarga yang selama ini bertahan hidup dari pekerjaan ibunya sebagai buruh tani.
Dulu, Zaldi pikir merantau di kota besar itu menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ternyata, impian itu hanya tinggal angan-angan. Hampir setahun hidup dalam perantauan, pemuda yang hanya tamat SMP tanpa keahlian khusus itupun hidup luntang-lantung di belantara Ibukota. Makan sehari-hari didapat dari upah kerja serabutan. Entah berapa ratus malam pula ia habiskan dengan tidur beralas koran beratapkan langit. Hingga takdir menuntun langkahnya sampai ke pondok Pak kyai.
Meski kerap mencuri, Zaldi selalu menunaikan shalat lima waktu. Bukan, bukan sebagai bentuk ketaatannya sebagai muslimin, namun hanya sekedar kamuflase agar khalayak menilainya sebagai pemuda yang sholeh. Andai masyarakat tahu kebenarannya, sudah sejak dulu Zaldi terusir dari pondok sang kyai.
Dengan wajah terkantuk-kantuk Zaldi mendengarkan tausiyah bijak dari pria berwajah teduh dengan sorban putih yang melilit kepalanya. "Sungguh, jikalau dosa itu berbau alangkah busuknya udara dunia ini, karena pastinya semua manusia menebar aroma tak sedap tak terkecuali saya," ucap sang kyai.
Zaldi yang masih mencoba mendengarkan isi ceramah tiba-tiba terkekeh geli hingga terbatuk di balik pilar tempatnya bersandar. Beberapa jemaah sempat menoleh memandangnya. Namun wajah itu hanya menyeringai tanpa dosa.
Pak kyai melempar senyumnya yang arif, lalu kembali melanjutkan. "Itu hanya sebuah perandaian, betapa Allah bersifat Ar Rahman Ar Rahiim, pengasih lagi penyayang. Andaikan Allah secara terang-terangan membeda-bedakan kualitas makhluknya di dunia berdasarkan dosa dan amalan, lalu semua itu diperlihatkan dengan bau yang menyengat, mungkin saya sekalipun tidak akan layak duduk di sini memberi tausiyah, karena begitu banyak dosa yang terendus oleh hidung kalian. Begitulah Allah atas kemurahanNya menutup tiap-tiap aib manusia."
Beberapa jemaah mengangguk faham.
***

Matahari mulai muncul malu-malu di ufuk timur cakrawala. Ceramah pak Kyai sudah sejak tadi usai. Zaldi mulai menyiapkan peralatan sesuai tugasnya, memelihara kebersihan masjid sekaligus kediaman pak kyai. Dikeluarkannya lap pel, sapu lidi dan pengki dari gudang masjid.
Apa kata Pak Kyai diceramah tadi? Andai dosa berbau? Lucu, ada-ada saja Pak Kyai itu... Zaldi senyum-senyum sendiri. Tanpa sadar ia mengangkat sebelah lengan dan mendekatkan kepalanya mencoba mengendus tubuhnya sendiri. Seolah memastikan. Lalu berganti lengan sebelahnya, dan kepalanya pun menoleh kearah tangan yang terangkat lalu manghirup aromanya. 'Tak berbau,' begitu batinnya bersuara.
Zaldi mulai menggerakkan sapu lidi, membersihkan halaman masjid yang dipenuhi oleh sampah dedaunan kering. Sesekali ia tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***

"Kejaaarrr! Cari sampai ketemu maling brengsek itu!" Teriak seseorang dari beberapa pemuda yang mengejar Zaldi dengan mengacungkan kayu dan senjata tajam.
Zaldi terus berlari sambil mendekap kontak infak dari sebuah masjid perumahan tak jauh dari pesantren Pak kyai. Ia berlari terengah-engah memasuki kawasan perkuburan, lalu mencoba menunduk dan bersembunyi di balik nisan.
"Mana? Mana dia?!" Salah seorang pengejar berwajah merah padam dengan mata yang terus berputar menyisir perkuburan sambil mengayunkan kayu sepanjang satu meter sebesar lengan orang dewasa.
'Ah, andai badan ini bisa mengkerut dan mengecil.' Dengus Zaldi kesal di balik persembunyiannya.
"Kayaknya tadi masuk sini, Bang." Sahut pengejar yang lain.
"Cepat berpencar, periksa daerah ini dengan teliti!"
Zaldi beringsut pelan-pelan dari persembunyiannya, beruntung perkuburan itu lumayan luas. Pekatnya malam tiada bulan juga sangat menguntungkan posisinya. Zaldi yakin masih ada peluang untuk lolos. Sambil mengendap-endap ia berpindah dari satu nisan ke nisan yang lain, kadang tubuhnya bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Ketika beberapa pengejar lengah, Zaldi pun menyelinap keluar dan kembali berlari dengan kencang tanpa menoleh kebelakang.
Senyum kemenangan pun menghiasi wajahnya.
***

Rumah Sang Kyai kedatangan para pemuda dari komplek perumahan sebelah, dan Pak Kyai telah memanggil Zaldi agar duduk bersama menghadapi tetamunya.
"Saya yakin, orang ini pencurinya Pak Kyai." Tuding seorang pemuda yang Zaldi ingat sebagai salah satu pengejarnya semalam. Dadanya berdentum kencang. Wajah pucat seperti kapas disembunyikannya dalam-dalam melalui tatapan menembus lantai ruang tamu Pak Kyai.
Dalam hati ia menggerutu. 'Sialan. Bagaimana mungkin si gendut ini mengenaliku? bukankah semalam sebagian wajah kututupi dengan sapu tangan?'
"Mohon tenang bapak-bapak...jangan asal menuduh, maaf sebelumnya, dari mana anda yakin kalau Zaldi pelakunya, adakah bukti yang bisa kalian tunjukkan?" Ujar Pak Kyai dalam ketenangan bak seorang ayah yang melindungi putranya.
Zaldi mencoba melirik dengan sudut matanya. Para pria itu terlihat saling tatap. "Dari perawakan dan gerak-gerik yang terekam dalam CCTV masjid pak, ini silahkan Pak Kyai lihat." Ujar seorang pengadu sambil menyodorkan hasil rekaman video yang sudah disimpan dalam sebuah handphone. Sejenak Pak Kyai mengamati dengan seksama.
Keringat dingin mulai meluncur di balik keningnya yang menghitam. Nafas tertahan dari dada yang berdetak kuat seolah saling berkejaran makin menambah ketakutan...Zaldi sudah pasrah, ia tak bisa lari lagi jika CCTV itu jelas memperlihatkan wajahnya.
Pak Kyai menggelengkan kepala sambil berkata dengan tegasnya."Dalam video ini wajah pelaku tertutup sapu tangan, dan tidak ada sisi yang jelas menunjukkan bahwa dialah orangnya. Kalau gestur saja memang mirip. Tapi ini tidak mutlak membuktikan kalau Zald pencurinya."
Zaldi diam-diam bernafas lega.
Para pelapor saling berbisik dengan tatapan tajam menghakimi. Zaldi mulai memberanikan diri bertukar tatap dengan wajah setengah mengejek.
"Percayalah, bukti kalian tidak cukup kuat. Sebagai pengelola pondok Zaldi selama di sini tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan. Lagipula yang saya kenal, ia adalah pemuda shalih dan ahli ibadah." Tambah Pak Kyai meyakinkan.
Para pemuda pelapor itupun tertunduk lesu lalu meminta diri dengan tangan hampa.
Senyum lega Zaldi tersungging dari sudut bibirnya yang tebal.
Belum sempat para pemuda itu keluar dari pintu rumah Pak Kyai. Tiba-tiba Zaldi mengerang keras lalu terjatuh tak sadarkan diri sambil memegang sebelah dadanya. Pak Kyai dan para pemuda dengan sigap mengangkat tubuh itu dan membaringkannya ke sofa panjang ruang tamu.
"Tolong, panggilkan Dokter Amran!" Teriak Pak Kyai, sesaat setelah memeriksa nadi di leher dan bawah telapak tangan kiri Zaldi. Pak Kyai tak berani memastikan sendiri.
Seorang pemuda berlari keluar.
Selang beberapa menit, pria tadi kembali dengan dokter Amran, salah seorang warga di sekitar pesantren yang memang berprofesi sebagai dokter umum. Keheningan menyergap dalam tatap yang saling bertukar kecemasan.
"Maaf, Pak Kyai...nyawanya sudah tak tertolong, kemungkinan dia terkena serangan jantung." Desis Dokter Amran sambil merapikan stateskop ke dalam tas yang di bawanya.
"Innalillahi wa inna ilaihirojiun...."
Pak Kyai mengusap wajah Zaldi pelan.
Salah satu pemuda memandang pak Kyai dengan tatapan bersalah. Lagi-lagi senyum teduhnya terukir sambil menepuk lembut punggung laki-laki itu.
"Ini sudah menjadi takdir Allah."
***

Para pelayat mulai berdatangan untuk mengungkapkan bela sungkawa. Sebagian ikhwan masih menunggu komando Pak kyai untuk memulai prosesi pemandian jenazah Zaldi.
Entah dari mana asalnya tiba-tiba bau busuk mulai menyengat. Para pelayat mulai kasak-kusuk tak tenang.
"Maaf pak Dokter, apakah jenasah penderita jantung biasanya mengeluarkan bau tak sedap?" Bisik Pak Kyai.
Dokter Amran menjawab sambil menggelengkan kepala,"sama saja dengan orang yang meninggal dalam keadaan sehat Pak Kyai, biasanya jika belum sampai menginap berhari-hari, jenazah tidak akan mengeluarkan bau tak sedap."
Kening Pak Kyai berkerut seperti tengah berpikir keras.
Satu persatu pelayat pamit dan memilih menyingkir.
Bau itu menguar semakin kuat. []

*Salah satu cerpen di buku ADB 

No comments:

Powered by Blogger.