Ratmi Tergerus Zaman

August 27, 2021
Cerpen lama, msh banyak typo dan bbrp tanda baca masih banyak yang keliru🙏
Wajahnya cukup manis, dengan rambut ikal sebahu yang selalu di ikat kebelakang.  Gaya berpakaiannya juga sederhana dengan daster panjang dibawah lutut. Hanya saja riasan wajah itu selalu nampak kontras dengan bedak dan lipstik merah fanta yang sepertinya tak pernah absen ia kenakan.  Ratmi namanya.  

Dari kisah yang dituturkan kuketahui ia sudah menjanda dan merantau ke Jakarta sejak lima tahun silam. Hampir sebulan aku mempekerjakannya sebagai asisten rumah tangga, rekomendasi dari Mbak Ayu tetanggaku.  Sebetulnya ini pengalaman pertama memiliki pembantu dirumah.  Sejak menikah semua hal sebetulnya biasa kukerjakan sendiri.  Namun dikarenakan kandunganku terus membesar, tugas-tugas rumah tangga menjadi keteteran, sementara sehari-hari aku masih aktif bekerja sebagai karyawan disebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa penerbitan.  Kedua anaknya perempuan, sudah bersekolah masing-masing duduk di kelas 6 dan 3 SD. Saat ini mereka tinggal bersama neneknya di Jawa. Ratmi bilang, bercerai dengan suaminya karena perbedaan prinsip mendasar, yakni agama. Alasan berpisah yang bagiku cukup menarik...

 "Kami menikah di kampung 13 tahun lalu, ia pemuda yang tinggalnya disebelah desa. Kami saling mengenal saat ada keluarga yang menikah dan ternyata mempelainya adalah sahabat suami saya," tuturnya.

 "Awalnya hubungan kami tak direstui bapak karena perbedaan agama. Namun karena Mas Tris, suami saya itu mengatakan bersedia menjadi muallaf. Akhirnya bapak mengizinkan." "Hari berganti tahun, rumah tangga kami mulai dikaruniai seorang anak. Mas Tris mengajak kami pindah ke Jakarta dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik, demi masa depan anak-anak. Saat itu saya masih keberatan mengingat Jakarta itu jauh, lagipula kasian sama si mbok dan bapak. Kakak-kakak sudah lama duluan pergi merantau ke kota. Hanya saya anak satu-satunya perempuan yang masih tersisa di sana." "Akhirnya suami memutuskan pergi merantau sendiri." 

 "Sebetulnya mas Tris sering pulang, dan rutin selalu mengirimi kami uang. Namun lama kelamaan, sebagai istri saya mulai khawatir. Apalagi banyak masukan sana sini yang mengatakan seorang istri sebaiknya selalu mendampingi suami kemanapun ia pergi, apalagi jika merantaunya ke Jakarta. Di ibukota banyak gadis cantik bertebaran di mana-mana dan siap menggoda siapapun yang mereka inginkan. Begitu mbak... makanya akhirnya lima tahun yang lalu saya menyusulnya kemari." 

Kami tinggal di sebuah kontrakan dekat sini. Tapi selama bersamanya, ada yang mulai terasa kurang. Ia mulai malas mengerjakan sholat lima waktu, tidak lagi mengaji, bahkan puasa romadhon pun tidak pernah lagi dikerjakan. Sebagai istri, saya risih....imam keluarga saya kok malah memberikan contoh yang buruk." Lanjutnya.

 "Pelan-pelan saya nasehati. Lama-lama kok ya saya jadi bosan sendiri. Bahkan terakhir kami bertengkar, dia bilang jangan usil dengan ibadahnya, karena itu tanggungjawab pribadinya dengan Allah. Dan belakangan ia mengaku menjadi muslim sebetulnya terpaksa, hanya karena alasan ingin menikahi saya." "Sakit hati saya mbak, makanya saya minta bercerai darinya." 

Aku masih diam mencoba menjadi pendengar yang baik.

 "Tapi selama ini dia selalu menafkahimu kan mbak? berbuat baik padamu kan?" tanyaku ingin tahu. "Iya memang, tapi bagi saya itu saja tidak cukup. Saya menginginkan seorang imam yang baik. Yang tentu saja mengerjakan kewajiban utamanya kepada Allah, dan alasannya memilih islam hanya karena ingin menikahi saya, itu yang tak bisa saya terima." 

Aku mengangguk-angguk mencoba mengerti pilihannya. 

 *** 

 "Mbak, gaji saya bulan ini bisa gak diambil duluan?, anak tertua saya mau ujian nasional. Butuh persiapan biaya buat kelulusan dan masuk SMP," ucapnya disuatu sore sepulangku kerja. Tak ada prasangka. Aku meng-iyakan permintaannya. 

 Minggu berganti bulan, Ratmi mulai malas-malasan bekerja. Dalam seminggu setidaknya minimal satu hari ia tak datang, dengan alasan sedang tak enak badan, atau ada keperluan keluarga. Aku mencoba memaklumi. Setidaknya tugas-tugas rumah ia coba selesaikan, meski mulai banyak kekurangan disana-sini.

 "Mbak, gaji bulan depan boleh ndak saya minta lagi dimuka, ada keperluan membayar seragam taklim yang baru."

 "Memangnya harus beli ya mbak?" Tanyaku

 "Mm... gak juga, tapi gak enak kalau gak berseragam." "Kan yang penting ngajinya mbak mi, bukan pakaiannya," Ia tersenyum.  "Malu ah mbak, gak nyaman saya kalau beda sendiri."

 Aku termangu. Mengurungkan niat hendak menceramahi lebih lanjut, menganggapnya masih awam. Jangan sampai teguran melukai perasaannya dan memadamkan keinginannya menuntut ilmu agama. Permintaannya kululuskan. 

 "Kamu itu terlalu baik dek...memberikan gaji di muka sama sekali gak mendidik, apalagi bukan untuk keperluan mendesak, nanti kamu yang akan susah sendiri. Lihat saja, belum sebulan kemarin sudah minta gaji duluan, trus kerjanya mulai malas-malasan. Sekarang minta gaji dimuka lagi. Besok lusa kalau kamu kasih terus dia akan memanfaatkanmu dalam hal yang lain. Mas perhatikan Ratmi itu tanggungjawabnya gak ada...". Pendapat itu dilontarkan suamiku ketika aku mulai mengeluhkan sikap Ratmi dan perkerjaannya yang tak jarang masih terbangkalai." 

 Aku tak sepaham. Setidaknya ia ingin membeli pakaian untuk menutup auratnya. Bukankah itu baik?, masalah niatnya bagaimana...?, itu urusan dia mas...," belaku.

 "Ya terserah lah, aku hanya mengingatkan...intinya jangan terlalu mudah menaruh iba, apalagi kita ini hidup dikota besar, beragam masalah sosial dan perbedaan latar belakang seseorang berasal membuat kejujuran menjadi mahal." 

 *** 

 Genap dua bulan bekerja, Ratmi makin jarang datang. Ini hari ketiga aku pulang kantor dan mendapati rumah dengan piring dan pakaian kotor yang masih menumpuk. Aku menghela napas. Belum hilang penat akibat seharian bekerja, namun kesabaran ini rasanya mulai terusik. Kuraih handphone mencoba menghubunginya. Tiga kali. Tak ada jawaban. . . 

Minggu pagi, satu persatu pekerjaan rumah ku cicil dibantu suami.  Perutku yang besar sebetulnya makin tak nyaman diajak bekerja, namun apa mau dikata, Ratmi sudah seminggu lebih tak kelihatan batang hidungnya. Setumpuk cucian tak lagi muat dijemuran dibelakang.  Suamiku membantu mengeluarkan sisa cucian di teras depan rumah. Aku melanjutkan mengepel bagian depan. Mbak Ayu dan suaminya melintas. 

 "Wah sepertinya ada kerja bakti nih, Mbak Yuan," sapa Ayu mendahului suaminya yang juga ikut menegur suamiku. "Iya nih mbak, resiko pembantu ngilang gak ada kabar, sementara kita berdua tiap hari harus kerja, jadi mau gak mau cuma bisa diborong hari minggu," jelasku. 

"Lho, Ratmi memangnya gak kerja lagi ya mbak?" Aku menggeleng "Gak tau kemana mbak, sudah seminggu, di telpon gak pernah diangkat. Mau disamperin, rumahnya saya kurang paham sebelah mana..."

 "Mmm...kemarin padahal saya ketemu di toko emas. Pakaiannya modis banget, jeans dan kaos ketat. Katanya habis menjual cincin buat anaknya yang sedang sakit di kampung. Saya gak tau sie kalau dia sudah beberapa hari gak kerja disini. Tapi saya tau rumahnya kok mbak, kalau mau hayuk saya antar kesana...?!" Ayu menawarkan 

 "Sekarang mbak? Apa gak mengganggu acara mbak Ayu dan mas Ardi?" lirikku pada suaminya. "Gak kok...biar aja suamiku disini dulu, ngobrol dengan mas Yudha suamimu, kami dari tadi hanya jalan-jalan santai kok...," katanya lagi Aku meminta persetujuan suami. Ia mengizinkan, dan mas Ardi pun tak keberatan. 

Secepatnya kuberesi ember dan peralatan mengepel, kemudian meninggalkan kedua pria yang tengah berbincang santai itu. 

 ***  

Assalamualaikum...! 
Assalamualaikum...!!! 

 Pintu kontrakan terbuka, seorang laki-laki berbaju gamis lengkap dengan sarung dan kopiah membuka pintu, seolah baru saja selesai menunaikan sholat dhuha. Aku termangu.  Mbak Ayu memilih diam, seolah memberikan kesempatan untuk bicara.

 "Maaf mas, apa betul ini rumah mbak Ratmi?" Tanyaku pada lelaki itu "Iya betul mbak, saya suaminya....ada keperluan apa ya?" Aku bengong.  'Katanya dulu sudah......?' "Mbak Ratmi ke mana ya mas? sudah seminggu ini tak datang bekerja di rumah saya. Apa karena baru menikah dengan mas?" tanyaku sok tahu. Ada aura keterkejutan terpancar dari wajah pria itu.

 "Mbak saya ini menikah dengan Ratmi sudah belasan tahun.  Ratmi mengarang cerita lagi rupanya...? gak kapok-kapok tuh orang bohong sana-sini cari simpati..." gerutunya. 

 Aku dan Mbak Ayu berpandangan.  Apa gerangan yang sebenarnya terjadi? "Maafkan istri saya mbak, sejak merantau kemari dia banyak berubah....awalnya saya maklum, mungkin kehidupan Jakarta membuatnya kaget, tak seperti di desa tempat kami dulu tinggal yang serba susah. Sepertinya dia mulai salah pergaulan...jadi suka belanja barang-barang yang tak perlu, berpergian dengan teman-temannya yang entah ia kenal darimana, melupakan tujuan utama kami merantau demi kehidupan yang lebih baik buat anak-anak."

 "Sebagai suami saya sudah sering mengingatkan, ini saja sudah beberapa kali dia pergi pagi, dan baru akan pulang nanti malam. Diantaranya pamit kerja. Tapi belakangan berbagai alasan lain diberikan, mulai mengikuti taklim, belanja ke mal atau sekedar mengobrol di kafe dekat sini..." "Terus terang, saya mulai kewalahan karena sikapnya... mbak sudah orang kesekian yang mencarinya karena mengabaikan tanggungjawab pekerjaan. Sebagai suami sebenarnya saya sangat malu atas kelakuannya, belum lagi ucapannya yang sering bohong sana sini. Saya mohon maaf karena tak mampu mendidiknya dengan baik. Tapiii...tidak ada barang yang hilang kan mbak? Kalau ada sesuatu yang hilang selama Ratmi bekerja, mbak datang saja kemari lagi...inshaAllah saya akan bertanggung jawab." 

 Aku tersentak... Di perjalanan Mbak Ayu berkali-kali minta maaf setelah kujelaskan duduk persoalannya. Dia merasa menyesal telah merekomendasikan orang seperti Ratmi bekerja di rumahku. Namun kubilang, itu bukan salahnya. 

 *** 

 Sesampainya di rumah, aku mengecek satu persatu barang pribadi dilemari. Sebenarnya, tak banyak yang kusimpan... Pakaian pun bisa dihitung dengan jari, tidak sampai membuat penuh seluruh isinya, jam tangan hanya dua buah, aksesories tak banyak, barang berharga hanya cincin emas seberat 5 gram mahar pernikahan yang sudah dua bulan tak kupakai dan diletakkan di laci karena sempit. 

 Deg! 

Jantungku tiba-tiba berdetak hebat. Cincinnya tak ada dalam kotak! Aku yakin tak salah meletakkan.  Aku selalu berhati-hati dalam hal ini.  Aku menggerutu dalam hati, kenapa begitu ceroboh mempekerjakan pembantu yang masuk rumah di siang hari dengan kunci cadangan, sementara kunci-kunci lemari masih menempel di pintunya. Siang itu juga, aku meminta suami membeli kunci baru dan memasangnya di pintu depan rumah. 

 Sorenya, aku menuliskan pesan singkat di layar handphone. 

 [Mbak Ratmi, jangan pernah datang lagi ke rumah. Saya sudah mengikhlaskan cincin yang kamu bawa, semoga Allah memberikan hidayah untukmu dan kembali membaktikan diri pada anak-anak dan suami solehmu.] 

 ***tamat***

No comments:

Powered by Blogger.