Perjalanan Berliku di Dunia Penuh Warna

 Perjalanan Berliku di Dunia Penuh Warna

Oleh Mega Marlina


“Mak, buku gambarku habis,” aduku kepada Emak sambil meletakkan krayon dan pensil di meja.


Emak mendesah pelan, tetapi senyum samar masih terlukis di sudut bibirnya. Tangannya terulur meraih buku gambar yang telah penuh kugambari dengan berbagai goresan ala kesukaan diri.  Aku mengekori gerak geriknya dengan napas tertahan, menanti komentarnya. Mata itu bergerak-gerak mengikuti lembar demi lembar yang dibukanya secara perlahan.  Sesekali ia menanyakan tentang maksud di balik sketsa yang kutorehkan di kertas itu.  Lisan ini menjelaskan sambil tertawa malu-malu.  Tidak ada celaan, sesekali ia tertawa mendengar celoteh polosku tentang coretan yang ada, tetapi tak jarang ia bisa menebak maksud yang tersirat.


Perempuan berambut pendek dan berwajah lebar itu akhirnya menutup buku gambar dengan senyuman terukir. “Besok Emak bawakan kertas dari sekolah,” jelasnya.  “Tak apa,  ‘kan, Adek menggambar di kertas bekas? Emak gak punya banyak uang untuk selalu membelikan buku gambar baru,” lanjutnya.


Aku mengangguk pelan mencoba mengerti. Bagiku itu bukan masalah, yang terpenting selalu ada tempat untuk menggoreskan pensil warna-warni kesukaan. Dulu, Bapak kerap mengomel jika aku ketahuan menggambar di dinding rumah, karenanya Emak membelikan buku gambar sebagai gantinya.

 

Ah, kilasan masa kecil itu berkelebat lagi, tetang sosok yang paling berjasa dalam hidup terutama yang mendukung hobiku dalam bermain warna baik di kertas, kanvas, maupun media digital.  Emak, di mataku adalah ibu yang hebat.  Sebab entah disadarinya atau tidak, dialah orang yang paling berperan membuatku sampai ke titik ini. Menjadi seorang ilustrator sekalipun bukan tokoh kenamaan. Memang sedikit meleset dari cita-cita awal sebagai arsitek. Akan tetapi, toh, kedua dunia itu bisa dikatakan berdekatan--sama-sama berkutat dengan desain gambar dan warna.  Hanya kepentingan dan tujuannya  yang berbeda.


“Ini beberapa kertas bekas yang menumpuk di sekolah, bisa Adek pakai buat menggambar.  Pakai halaman yang kosongnya saja,” jelas Emak siang itu sambil menyodorkan setumpuk kertas dalam sebuah kantong plastik.


“Wah, banyak sekali, Mak.” Aku menyambutnya dengan suka cita. Untuk gadis kecil yang tengah duduk di kelas satu sekolah dasar dan sangat menyukai bermain dengan pensil warna ataupun krayon, kegembiraan kala itu seperti halnya menerima hadiah boneka barbie yang bisa bersuara dengan menangis. 


“Adek memang cita-citanya pengin jadi apa?” tanya Emak sambil mengamati setiap gerak-gerikku mulai menggoreskan pensil di kertas.


“Arsitek atau orang yang mendesain baju-baju,” jawabku cepat tanpa menoleh.


“Fashion designer itu namanya, Dek,” sahut Bapak yang baru saja muncul dari balik pintu.


Aku mengangguk mengerti.


“Doain saja Bapak dan Emak pada waktunya nanti punya uang yang cukup untuk menyekolahkanmu,” lirih Bapak sambil mengambil tempat di sebelah Emak, lalu duduk mengamati kegiatanku.


***


Aku menatap sedih formulir pendaftaran mahasiswa baru di meja,  form itu sudah kuisi sebagian, tetapi untuk pemilihan jurusan masih dikosongkan.  Bukannya tak tahu harus memilih apa? Melainkan takut pilihan itu tak sesuai dengan keinginan Emak dan Bapak.  Mereka sudah tahu sejak lama keinginanku yang terlihat jelas sejak lama.  Namun,  belakangan mereka mulai terlihat keberatan dengan pilihan itu. Bapak pernah mengeluh bahwa cita-citaku akan sulit terwujud. Menurutnya, kuliah di jurusan itu hanya untuk orang berduit, sebab banyak pernak-pernik yang harus dimiliki, mulai dari pena, meja gambar, komputer penunjang desain, dan lain lain.  Entah ia mendapatkan informasi itu dari mana, yang jelas ia pernah bilang, “Coba cari jurusan yang umum-umum saja, yang penting bisa menjadi prasyarat masuk instansi pemerintahan.”


Aku menarik napas dalam.  Sejak dulu keluarga besarku memang mengagungkan profesi di instansi pemerintahan. Seolah-olah hanya itu saja jalan rezeki yang menjamin masa depan seseorang.


Aku terdiam lama, masih berharap Bapak mengerti impian terbesar dalam hidupku, memilih jurusan arsitektur sebagai bidikan utama.  Lelaki paruh baya itu menggeleng sedih.  “Anak Bapak bukan hanya kamu, kakakmu juga butuh biaya untuk kuliahnya, jika semua biaya tercurah untukmu, Bapak akan merasa menjadi orang tua yang tidak adil untuk yang lain.”  


Aku tepekur lama.  Untuk ukuran PNS golongan II-A, gaji Bapak memang terbilang kecil.  Hanya saja selama ini kehidupan kami terbantu dengan Emak yang berprofesi sebagai guru SD.  Sekalipun keduanya bekerja, tetapi kebutuhan rumah tangga dengan dua orang anak yang beranjak dewasa, tidak bisa dikatakan mewah.  Sudah mampu menyelesaikan kuliah saja bagi orang tuaku itu sudah bagus.  Tak peduli jurusan apa yang diambil asalkan masih terjangkau menurut standar mereka.


“Agribisnis, saran Bapak, sih, kamu pilih itu saja.  Sebab jurusan itu cocok untuk mahasiswa yang membidik pekerjaan sebagai bankir atau pegawai di instansi pemerintahan.” Saran Pak Zainal salah satu guruku di SMA.  Aku tak pernah bilang padanya bahwa itu bukanlah keinginanku, melainkan kemauan Emak Bapak.


Lalu di sanalah aku, kuliah di sebuah tempat yang jauh dari impian. Bisa dibilang selama menimba ilmu di kampus hijau, diri ini seperti orang yang tersesat alias salah jurusan.  Meskipun berat, pendidikan itu kutempuh dalam waktu singkat, tiga tahun delapan bulan.  Bukan karena jenius, tetapi sengaja mengambil beberapakali kuliah pendek agar cepat menyelesaikan pendidikan di bidang yang kurang kuminati ini. Semuanya, hanya bentuk tanggung jawab atas kewajiban, sekalipun bukan murni dari keinginan diri.

Seiring waktu, apakah kegemaran menggambar serta merta hilang seiring kesibukan menimba ilmu? Tentu saja tidak, aku masih sering memainkan pensil dan pena di beberapa halaman buku tulis perkuliahan.  Kadang kala sengaja membeli buku gambar sebagai sarana pengusir rasa bosan.


“Untuk apa kanvas besar dan sebanyak itu dibeli, Dek?” tanya bapak dengan kening berkernyit melihat aku memasuki rumah dengan kesulitan sebab mengangkat beberapa kanvas dan peralatan melukis. 


Pemandangan yang cukup aneh menurutnya, sebab kala itu aku tengah bekerja sebagai penyiar di sebuah radio dengan gaji tak seberapa. Setelah lulus kuliah, aku selalu gagal di setiap seleksi masuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan perbankan. Lucunya, malah berjodoh di dunia broadcasting. Melihat peralatan gambar yang kubawa pulang, Bapak mungkin membatin jelas itu tak ada hubungannya dengan pekerjaan,  ‘kan? Lagipula kanvas dan segala pernak-perniknya tentu tidaklah murah.


“Hadiah dari seorang teman yang peduli akan hobiku,” jawabku singkat.


Berhari-hari aku mengurung diri di kamar, asyik dengan hobi baru yang beralih ke dunia kanvas dan cat lukis.  Tak sampai setahun, diri ini menghasilkan karya dari belasan kanvas yang dilukis dengan berbagai objek yang kusukai secara otodidak.  Tidak semuanya kunilai bagus dan layak untuk dipajang, sebab masih dalam tahap belajar.  Beberapa terpaksa dibuang sekalipun dalam hati sebenarnya sayang.  


Waktupun terus berputar, setelah menikah aku memasuki fase baru dalam hidup,  yakni berdamai dengan kenyataan bahwa telah gagal meraih impian menjadi seorang arsitek.  Namun, setidaknya bakat menggambarku masih bisa dipakai untuk mengajari anak-anak di rumah. Sampai suatu ketika di sebuah media sosial, aku menatap laman ilustrasi gambar yang sangat indah.  Dalam benak ini tiba-tiba melintas pertanyaan menggelitik, kenapa tidak mencoba belajar menggambar digital?


Semesta seolah-olah mendukung niat itu, kebetulan aku banyak berteman dengan orang-orang yang berprofesi sebagai penulis di dunia maya.  Mereka merekomendasikan sebuah komunitas dan nama beberapa ilustrator buku yang mereka kenal.  Praktis sejak saat itu aku menyibukkan diri mengikuti kelas gambar ilustrasi berbayar, menyimak dengan serius materi yang disampaikan, lalu berlatih dan berlatih dengan media ponsel.

Seolah-olah ada api menggelora di dada kala kembali bersahabat dengan dunia warna.  Hari-hari kian ceria tatkala tawaran membuat kover dan ilustrasi cerita buku mulai berani kuterima. Belakangan, aku mulai melengkapi peralatan tempur seperti pantab dan laptop sebagai sarana mempermudah pekerjaan. Hingga hari ini, akhirnya aku mulai berani mem-branding diri sebagai ilustrator.


Pascameninggalnya Emak Mei 2020 lalu, aku menemukan beberapa kliping yang berisikan gambar-gambar hasil karyaku semasa kecil yang ternyata tersimpan apik di lemarinya.  Air mata seketika menderas, andaikan dulu ia melarangku menggambar tentu diri ini takkan pernah mencintai dunia warna-warni ini.

,❤️❤️❤️

Penulis lain punya banyak kisah yg menarik untuk disimak. Untuk pemesanan bit.ly/chat-mega1


#antologihobi

#selaksarenjana

No comments:

Powered by Blogger.