Secangkir Esspreso dalam Rinai Hujan

June 15, 2019
Dalam rinai hujan, leleran air masih mengalir membentuk jejak vertikal di kaca pembatas kafe lalu jatuh menghilang disergap bumi.

"Cappucino double sugar," ucapnya riang sesaat setelah pintu berdenting sambil menyeka sebagian anak rambut yang sedikit basah. Rupanya perempuam berwajah oriental dengan tubuh semampai ini berhasil lolos dari guyuran hujan yang baru menerjang.

Aku mengangguk dengan senyuman, "pilihan yang pas untuk seorang wanita manis dalam jeda hujan, anything else?"

Mata kecokelatannya beralih menatapku lekat. Sejenak aku menangkap kemarahan yang terpancar dari manik matanya yang indah.

"Owh ... maaf, bukan bermaksud lancang ... hanya bersemangat menyapa pelanggan," ujarku dengan nada ramah mencoba menghilangkan tuduhan kurang ajar dari caranya menatap.

Ia mengangguk cepat seolah memaklumi. "Aku menunggu seseorang, Mas, mungkin nanti pesanan lain akan menyusul."

Aku menarik nafas lega. "Baik, Mbak," tangan-tangan cekatanku langsung meraih gelas dan meracik pesanannya di coffeemaker.

Wanita itu melangkah mengambil tempat di sudut ruangan.

Sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam berlalu, kopi yang sedari tadi diantar dalam keadaan mengepul sudah berubah dingin tak tersentuh.

Wanita itu terus menatap keluar, seolah masih menanti seseorang dalam hujan yang belum juga mereda.

Beberapakali kutangkap bahunya naik turun seolah mengambil bernafas berat. Ia kembali tertunduk dan mengeluarkan sebuah benda tipis dari dalam tasnya.

Pintu kafe berdenting.

Sosok anak jalanan dengan wajah pucat kedinginan dan baju basah yang lusuh melangkah ragu ke arahku. Setengah mengangguk ia menunjukkan bungkusan tipis berlapis plastik dan berujar, "maaf Bang, saya hanya diminta pria itu menyampaikan ini kepada wanita di sana," tangan mungilnya menunjuk pada si wanita di sudut ruangan dan seorang pria di balik kemudi mobil hitam di seberang jalan dengan kaca setengah terbuka.

Aku menatap lekat gerak-geriknya.

Tak lama setelah menyerahkannya benda itu pada sang gadis, anak tersebut bergegas kembali dan menghilang di balik pintu, meninggalkan ceceran jejak air di lantai.

Dengan sigap salah satu rekanku mengeringkan lantai ruangan. Pria itu masih menunggu dan mengawasi di balik kendaraan.

Si wanita membuka bungkusan, kemudian terdiam agak lama. Entahlah, aku seperti menangkap aura kesedihan terpancar dari raut wajahnya.

Selang beberapa menit, akhirnya si wanita mencoba tersenyum dan melambai ke luar sambil mengacungkan kertas yang telah dibaca.

Pria itu balas melambai dengan tatapan penuh keharuan.

Tangan wanita itu ganti mengangkat cappucino dingin pesannya sambil mengangguk pelan dan menenguknya perlahan seolah memberi salam perpisahan.

Sang pria tersenyum dari kejauhan, tak lama kaca menutup dan mobil melaju perlahan.

Lama gadis itu menatap kosong jalanan dalam diam yang menghunjam ... Tak lama diapun bangkit dan melangkah ke arah meja bar.

"Esspreso tanpa gula" ucapnya dengan nada parau seperti orang yang tengah putus asa.

"Pesanan tak biasa untuk seorang wanita" sahutku memecah kekakuan.

Sejenak kami bertukar tatap, kali ini ada kesedihan yang kutangkap dari matanya suram, "mungkin cukup untuk mewakili perasaan seseorang yang terbuang," lirihnya pelan.

"Espresso memang pahit bagi sebagian orang, namun entah kenapa selalu saja dirindukan. Mungkin karena ia jujur menggambarkan citarasa kopi yang sesungguhnya. Seperti halnya hidup yang tak selamanya menawarkan rasa manis."

Sepintas aku melihat matanya yang sedikit berkaca-kaca.

"Setiap kopi yang terhidang di sini punya cerita," lanjutku sambil menyodorkan kopi hitam pesanannya.

Kali ini ia mengambil posisi di depanku. "Apakah aku harus membayar lebih untuk bercerita?" Masih dalam raut wajah yang belum berubah seperti kala ia masuk.

Aku terkekeh, "tergantung, Meam."

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas lalu menyodorkan kertas yang tadi terimanya dari si kurir kecil. Undangan pernikahan. Di sana tertera nama dan foto sepasang insan, pria tadi dengan wanita berhijab yang jelas bukan dirinya.

Benakku mencoba merangkai sendiri jalan ceritanya. Namun, tak berani bertanya lebih jauh.

Ia memandang kopi pesanannya dalam diam, airmatanya jatuh perlahan.

"Kamu tahu, suatu hari di bangku yang tadi kau tempati ada seorang wanita paruh baya dengan secangkir flatwhite dipertemukan dengan pria pujaan hatinya setelah puluhan tahun terpisah jarak. Di hari berbeda seorang wanita muda tiga hari berturut-turut memesan dua cangkir mocaccino, di jam yang sama, pakaian yang sama. Hanya satu gelas yang ia minum. Namun satu pesanannya tak pernah disentuh sampai ia meninggalkan tempat ini. Di hari keempat, ia kembali memesan moccacino tapi hanya satu gelas. Sebelumnya aku menebak mungkinkah wanita itu sudah putus asa menunggu kekasihnya? karena pria yang ia tunggu tidak pernah datang."

Wanita itu mengangkat wajah, menghapus sisa airmata yang menggenang di pelupuk mata dengan ujung jari telunjuknya. "Apakah dia bernasib sama sepertiku, ditinggalkan orang yang dicintai?"

Aku tak mampu menyembunyikan senyuman. "Awalnya aku menebak begitu, tapi ternyata ... wanita itu bilang kekasihnya telah lama berpulang untuk selamanya. Aku tak berani bertanya untuk siapa sebenarnya kopi itu disuguhkan? Jadi, aku sendiri tak pernah tahu jawabannya, Mbak. Tapi seperti yang kubilang, setiap kopi punya cerita, dan uniknya justru dialah yang mempertemukan kita semua di sini"

Kulihat senyumnya mulai mengembang. Hatiku mulai bernyanyi.

"Mbak tahu persamaan kopi dan hati?" Tanyaku mulai berani menggoda.

Ia menggeleng pelan.

"Sama-sama berubah dingin jika ditinggalkan."

Deretan gigi putih dalam kekehan kecil terdengar dari bibir yang membuka. Ada rasa yang kian membuncah dan sulit kuungkapkan. Mungkin ini bahagia atau kelegaan?

Ia meneguk pelan kopi pesanannya.

"Kembalilah lain kali dengan senyum seperti tadi. Lalu pesan varian kopi selain espresso atau cappuccino. Kopi memang pahit tapi dia unik, justru menakjubkan jika rasa itu dicampur dengan bahan lain. Such as life ... warna warninya makin terlihat jelas jika engkau justru lebih berani menghadapi dunia." []



****

No comments:

Powered by Blogger.