Kisah Indah di Akhir 2007, Berlanjut Hingga Kini

February 16, 2022


Khusus hari ini saya ingin bercerita dan sedikit bernostalgia tentang keputusan penting 15 tahun lalu. Tepatnya di penghujung tahun 2007.


Saya menikah di usia 29 tahun, 3 bulan.  Bukan gak pernah panas kuping kalau mendengar berbagai peryataan menyentil "betah amat ngejomlo!", "Gak takut perawan tua?", "Makanya jangan pemilih", dll.  Sempat mengabaikan tawaran ta'aruf karena kebetulan dulu berstatus santri karya Daarut Tauhid. Entah kenapa hati belum jua tergerak.  


Jujur, pernah menyimpan rasa kecewa dengan sesosok santri yang saya suka, karena saat diajak ngobrol serius ternyata punya mindset yang lemah menurut saya. Terlalu "nrimo" dalam hidup, pasrah, padahal ikhtiar belum optimal dikerahkan.  So, saya memilih menyimpan dalam hati dan mundur pelan-pelan.  Saya pikir, seorang suami harus memiliki mental baja dan ketekunan dalam memperjuangkan rezeki untuk kebahagiaan keluarga dan anak-anaknya, selain akidah tentunya.


Seiring waktu, ternyata belakangan disadari, Allah mungkin ingin memberikan langsung pengalaman hidup pada saya bahwa 'jodoh gak usah di cari-cari'.   Ia datang sendiri ketika waktunya memang telah tiba,  atas izinNya meski tanpa rekomendasi siapapun. Sosok yang akhirnya menjadi imam itu dipertemukan dengan diri hanya berbekal nama siaran saat berkendara dan stay tune di gelombang MQ 89,3FM --Waktu itu setiap satu jam saya membacakan Flash News--.  Aneh, kan? Hanya denger suara trus langsung tergerak melangkahkan kaki ke studio. 


Entah kali kedua atau ketiga baru bersua.  Bertemu dengan Aina Az-zahra ternyata perlu perjuangan katanya, hahay!


Kami hanya beberapakali berjumpa dan berbincang sejenak.  Suatu hari, ia datang ke rumah dan to the point minta izin ke ortu hendak menikahi saya.  Kaget dong, apalagi waktu itu sebenarnya bapak lagi menjodohkan saya dengan salah seorang kerabatnya.  Alhamdulillah tanggapan orang tua welcome saja, dan menyerahkan sepenuhnya pilihan kepada saya. Sebab, menurut mereka, biar bagaimana pun rumah tangga itu, saya yang akan menjalaninya. 


Namun kalau mau jujur, hati saya memang cenderung ke beliau ini. Kok bisa?  Takut sama pria sesuku yang kebanyakan sangat kuat jiwa patrialisnya, susah diajak kompromi bahkan ogah pegang sapu ha ha ... Gak semua memang, buktinya bapak saya pria yang hangat, enak diajak tukar pendapat, jago nyetrika dan manggang kue.  But mostly pria "lampungnese" ya begitu karakternya yang saya jumpai.  


Singkat cerita, Desember 2007, akhirnya saya mantap melepas masa lajang dan langsung memasuki perubahan hidup bagai roller coaster.  Yang tadinya wanita pekerja, anak emas rumah yang selalu didengar dan mandiri, tetiba berubah menjadi emak-emak rumahan, pure mengandalkan nafkah dari suami, taat dan bergantung padanya.


Di tahun pertama, kami pernah stay sebentar di Palembang sampai project terakhir suami selesai.  Setelahnya, pindah ke ibukota, tepatnya mengontrak di pinggiran Jakarta Timur selama 4 tahun. Di sini pelajaran hidup, berumah tangga dari 0 menjadi kenangan dan bagian hidup yang tak akan pernah dilupakan.  Membaur dengan banyak orang di lingkungan baru dengan berbagai karakter butuh penyesuaian yang tak sebentar.  Di sinilah pula pengalaman pertamakali merantau, jauh dari orang tua menjadi tantangan tersendiri buat anak kesayangan model saya haha ... 


Setelah itu, pelan-pelan ekonomi membaik dan diberi kelapangan rezeki menempati rumah sendiri di daerah Depok.  Selama 2 tahun kami stay di sana. Sampai akhirnya terpaksa ditinggalkan lagi sebab mengikuti suami bertugas di pulau yang jauh, berbatasan dengan negara Malaysia dan Singapura, tepatnya di Batam. Tahun 2013 kami mulai menetap di sana. Cukup lama tinggal di kota itu, dengan segala suka dukanya.  Sisi positifnya, setiap perantauan selalu meninggalkan pengalaman dan cerita tersendiri, serta menambah daftar keluarga baru, sekalipun tak ada hubungan darah sama sekali. 


Pertengahan 2017 keputusan penting kembali diambil.  Suami resign dan kembali ke basecamp utama, Depok. Sementara saya memilih mengemban tugas birrul walidain ke kota kelahiran, Bandar Lampung sampai sekarang. Dasar pertimbangannya kala itu bapak kerap sakit-sakitan, sementara emak pun sudah sangat uzur memasuki usia 80an. Tahun 2020 salah satu tugas tuntas, emak meninggal dunia saat pandemi covid 19 melanda.  Saat ini, saya tinggal mendampingi bapak yang enggan diajak pindah.


Di sepanjang pernikahan, kami dikaruniai dua orang anak.  Sepasang putera putri yang saat ini alhamdulillah sudah kelas 1 SMP dan 5 SD.


15 tahun bukan berarti tanpa kendala, karena sejatinya hidup memang hanyalah pergantian dari problematika satu ke permasalahan lainnya.  


Toh, tidak ada rumah tangga yang sempurna, ye kan?


Kalau gak diuji dengan prilaku suami/istri, maybe ada keluarga yang kerap intervensi dan menyebalkan.


Andai tak dicoba dengan masalah ekonomi, mungkin saja anak-anak yang sering membangkang.


Jika lolos dari ujian kesetiaan, bisa jadi dihadapkan dengan penyakit berkepanjangan.


Saya yang mana? LDR sementara ini.

 ðŸ˜‚😂😂




No comments:

Powered by Blogger.