Antologi "How I met My Husband"

November 21, 2021

Masih ingat pertamakali bertemu dengan pasangan hidup?

Tentu bikin tersenyum ya jika kita mengingatnya kembali.  Berikut salah satu kisahnya yang diambil dari salah satu buku berjudul How I meet My Husband ... Ditulis oleh puluhan penulis perempuan yang tergabung dalam Komunitas Mari Menulis,


Jodoh Tak Perlu dikejar

 

Sebuah nasehat bijak tertulis dalam novel religi yang tengah kubaca, “Jodoh akan selalu menemukan jalan menuju tulang rusuknya.  Tidak perduli seberapa jauh hati dan jarak terbentang.  Di sana kuasa Allah bicara, bahwa sejatinya manusia hanya bisa berikhtiar sebatas yang ia mampu asalkan tidak melanggar syariat.”

Ikhtiar sesuai syariat.  Sebuah kalimat yang menggelitik dan ingin kugarisbawahi.  Cukup langka penulis menyertakan kalimat pengingat itu, sehinga tak jarang di kehidupan ini mereka yang muda dan tengah kasmaran melanggar batas norma atas nama cinta. Dan kuharap aku tidak termasuk salah satunya.  Beberapakali aku harus menelan kecewa ketika diam-diam menyimpan asa pada pria yang kubidik memiliki probabilitas bagus sebagai imam hidupku di masa depan.  Namun semuanya kandas sebab aku tak cukup bisa bersaing dengan gadis yang lebih luwes sikap manja, merayu, dan haus perhatian.  Aku adalah Alya, yang selalu berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya, demi menjaga hatiku sendiri juga menjaga marwah diri. 

Hari itu aku melihat pria itu lagi dan wanitanya menaiki roda empat sebelum melepas genggaman dalam binar mata yang saling memuja dari lantai dua bangunan kantor. Aku mendecih sebal. “Kalau memang dia pria baik dan soleh, tidak akan mudah jatuh pada kemilau ragawi. Juga mengerti adab di mana pun kakinya berpijak” Bisikku menghibur diri saat menyadari tak pernah menjadi kandidat pendamping di mata lelaki yang kupuja.  Lagipula, lelaki yang baik akan menjaga wanitanya, bukan sembarangan menjamah dan membawanya pergi berduaan sebelum ikatan halal bahkan tanpa sepengetahuan orangtuanya.  Salahkah aku berprinsip begitu sekalipun dunia disesaki perilaku umum yang menyimpang namun sudah dianggap sangat biasa?

“Usiamu sudah 27 tahun, setidaknya belajarlah membuka hati.” Kata Bapak dalam perbincangan malam itu. Pria panutanku itu tahu betul aku pernah kecewa sebab memendam asa kepada seseorang yang ternyata kemudian berlabuh hati pada sahabatku sendiri.  Namun ia mungkin tak tahu jikalau hatiku sudah lama move on dan mulai menyukai orang lain.  Teman sekantorku.

Aku memilih bungkam tak menyahut sepatah kata pun.

“Ada kerabat jauh yang ingin anaknya mengenalmu,” Sejenak aku menarik napas pelan, mencoba menerka arah perbincangan ini.

“Terserah, tidak ada salahnya mencoba kan?” jawabku pelan. Mungkin memilih taat pada orang tua akan berbuah kebahagiaan, pikirku. 

“Bapak akan telepon ayahnya.” Lengan itu kemudian menyambar gawai di atas meja lalu berbincang dengan seseorang di seberang sana.

“Hari minggu saat kamu libur siaran, apa bisa anaknya datang ke rumah? setidaknya untuk perkenalan.” ucapnya hati-hati.

Aku hanya mengangguk pasrah.

***

Pria itu datang dengan pakaian rapi dan aroma mint yang segar terhidu.  Perawakannya sedang, kulit putih dengan wajah bersih.  Cukup tampan menurutku.  Perbincangan dua arah mulai mengalir pelan.  Aku mencoba mengeja isi kepalanya dalam setiap kata yang terucap.  Sayangnya, lebih banyak kalimat perintah sekalipun dikemas dalam nada yang sangat sopan. Sangat percaya diri sekali seolah aku pasti menerima perjodohan ini.

“Jika menjadi istriku, bisakah kamu tidak bekerja lagi?” “Bisakah kamu tidak menerima telepon dari pria sekalipun teman kantormu karena aku ini pencemburu. Mau kah kamu menurutiku … begini dan begitu?” Entahlah kalimat-kalimat lain seolah menghilang hingga aku tak mengingatnya satupersatu. Berganti berbagai kekhawatiran melintas dan berkecamuk di dalam benak.  Bagi sebagian orang aku ini memang kolot, idealis bahkan dicibir fanatik.  Akan tetapi sebagai perempuan aku mendambakan rumah tangga yang hangat, dalam balutan komunikasi dua arah antarpasangan, saling mengerti tanpa mengekang satu sama lain. Bagiku, jikalau kedua belah pihak paham peran dan tanggung jawab masing-masing dalam rumah tangga, maka tidak akan ada celah ketidakpercayaan menyelinap. Aku menghela napas dalam-dalam.  Ah, pertemuan pertama saja sudah seperti ini, bagaimana jika menghabiskan seluruh hidupku dengannya?  Bukankah pernikahan adalah ibadah sepanjang hayat? Kurasa aku takkan sanggup.

“Bagaimana?” Cecar ayah.

Aku menggeleng lemah.  “Aku memilih mundur, kami tidak akan bisa sejalan”

Kali ini kulihat guratan kecewa tidak hanya timbul di kening bapak, tapi juga ibu. “Susah kalau berhadapan dengan orang yang terlalu pemilih.” Gerutu ibu.

Aku hanya terdiam, tak kuasa menanggapi.

***

Kartu undangan bernuansa ungu dengan pita keemasan kutatap lekat dengan pandangan datar.  Teman kantor pujaanku sudah menetapkan hati memilih wanita itu.   Aku hanya bisa tersenyum pahit sambil mendoakan kebahagiannya dalam kesunyian.  Entah akan hadir atau tidak, itu urusan nanti, yang jelas aku butuh waktu untuk mengikhlaskan apa yang bukan ditakdirkan menjadi milikku.


Bagaimana kelanjutannya? Penasaran?! selengkapnya bisa kalian baca di buku itu.  Untuk pemesanan klik bit.ly/chat-mega1


No comments:

Powered by Blogger.