Tanggung, Nanti Saja ....

November 18, 2020


Ada kemilau yang tertangkap dari sinar mata Umi saat menghitung lembar demi lembar uang ratusan ribu di tangan.  Sungguh mujur, pendapatan dari butik hari ini lebih dari hari biasanya.  Gumaman kecil terus mengalir seiring jumlah lembar yang terlewati di sela-sela jemarinya nan lentik.


"Bun, adzan sudah dari tadi, sebentar lagi iqomah tuh...kok masih aja sibuk menghitung uang. Sholatlah dulu," tegur Ibas suami Umi seraya melangkah keluar hendak menunaikan shalat magrib berjamaah. Sementara gema suara Arva anak lelaki mereka sudah lebih dulu menghilang, seiring menjauhnya langkah  kecil itu berlari mengejar teman-temannya yang bergerombol menuju mushala.


"Iya, Yah...tanggung sebentar lagi, rekapan butik belum kelar," sahutnya tanpa memalingkan wajah ke arah laki-laki itu.


Yang diajak bicara hanya menggeleng-gelengkan kepala.  "Jangan suka menunda-nunda waktu shalat, Allah yang kasih rizkimu hari ini, gak cuma uang itu tapi juga kehidupan, mumpung masih nafas utamakan Dia," sindirnya sarkas.


"Huum..."  Umi mengeluarkan suara mirip lenguhan, entah maksudnya meng-iya kan, atau ekspresi malas menanggapi perkataan Ibas.   


Pria itupun hanya menarik nafas berat.   Tak lama  bergegas menyusul langkah kecil putranya dan menghilang di balik kegelapan.


Ibas teringat beberapa tahun lalu, ketika mereka masih hidup mengontrak di dekat pelabuhan.  Shalat berjamaah sudah menjadi kebiasaan.  Suara peluit kapal yang hendak bersandar atau  menarik jangkar selalu memekakkan telinga bagai alarm yang senantiasa mampu membangunkan mereka untuk menunaikan tahajud bersama.  Sepertiga malam selalu mereka isi dengan  rintihan mengharap belas kasihNya.


Ketika ekonomi keluarga membaik, Ibas akhirnya dipromosikan menjadi Manager di pabrik tempatnya bekerja.  Ia pun mulai mampu menyisihkan uang untuk membeli rumah serta memodali Umi membuka butik kecil-kecilan di garasi. Perlahan-lahan ekonomi keluarga kecil mereka membaik, bahkan makin lengkap dengan hadirnya Arva sang buah hati.  Akan tetapi, kesibukan Umi mengurus anak serta usaha barunya, membuat Ibas merasa ada yang hilang dari sosok istrinya.


"Subhanallah, Yah...bunda belum shalat juga tuh!" Jerit Arva yang mendapati ibunya masih berkutat dengan kertas, pena, kalkulator dan sejumlah uang yang diatas meja sepulang dari langgar.


Rahang Ibas berubah mengeras, "Bun?!"


Seringai kecil menghias wajah Umi yang salah tingkah, "Oke-oke bunda shalat sekarang," ujarnya ciut melihat kekesalan yang terpancar dari wajah Ibas, sambil menaruh pena dan memasukkan uang ke laci dan menguncinya.


Tak sampai 10 menit, wanita itu sudah kembali asik melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.


Ibas meraih kursi lalu duduk mendekat, menghadapkan wajahnya yang teduh kearah istri tercinta. "Bunda tahu, sedih sekali melihat kamu akhir-akhir ini.  Hanya karena kesibukan, Allah jadi dilalaikan.  Kemarin-kemarin Bunda di beri nikmat waktu luang... kamu mengeluh, merayu ayah agar punya aktivitas dan menjadi ibu yang produktif.  Sekarang baru mampu mengelola sebuah butik saja, sholatmu sudah kedodoran. Bukankah ini ironis?"


"Ah, ayah jangan membesar-besarkan masalah.  Intinya kan Bunda tetap shalat...." tukasnya cepat masih sibuk dengan angka-angka dalam nota di hadapannya.


"Benar, tapi Allah bukan lagi prioritasmu, ini bahaya, Bun."


Umi meletakkan penanya dan menatap lurus sang suami.  "Sepertinya Ayah tak senang kalau bunda bisa cari uang sendiri, merasa posisimu sebagai kepala keluarga terancam, begitu?!"


"We not discussing about my position dear, omonganmu keluar bahasan."


"Huuh...kamu menyebalkan," sergah Umi seraya menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi


Ibas menghela nafas berat. "Tugasku sebagai kepala keluarga mendidik istri dan menjauhkan keluargaku dari api neraka, kalau kelakuanmu ini dibiarkan, sama saja aku ikut menjerumuskanmu kedalam kesesatan"


"Begitukah? hanya karena menunda shalat...kamu jadi menceramahiku panjang lebar"


"Shalat itu amalan pertama yang akan dihisab, Bun. Kalau shalatmu saja berantakan, sudah pasti amalanmu yang lain gak jauh beda."


"Jangan mengguruiku, aku sudah faham itu"


"Sekedar tahu kurasa, kalau saja kamu faham tentu sudah tercermin dari prilakumu," sindirnya pedas.


Wanita itu melengos kesal, menurutnya percuma menanggapi ceramah Ibas, bagaimanapun laki-laki itu  selalu menang dalam perdebatan. Tapi semangat di dadanya tak pernah pudar, Umi menyukai situasi ini.  Menjadi wanita berdaya, tidak  menggantungkan ekonomi sepenuhnya pada sang suami. Hati kecilnya mengatakan, ia harus mencari uang lebih banyak lagi agar semua keinginannya bisa terwujud.


***


Pagi yang cerah, ketika mentari mulai menunjukkan cahayanya yang keemasan.  Sungguh, waktu yang sangat tepat untuk memulai aktivitas.  Ibas sedari pagi sudah berangkat ke kantor sekalian mengantar Arva ke sekolah.  Umi terlihat sibuk mengatur tata letak manekin dan tumpukan pakaian di rak penyimpanan butik kecilnya.


"Assalamualaikum... Bunda Arva, pagi ini apa hendak ikut kajian Fiqih Nisa Ustadzah Lia di Masjid Al-Hikmah?" Sapa Bu Tiar tetangga sebelah rumah yang sudah terlihat rapi dengan hijab bernuansa hijau gelap.


Umi  menoleh sambil menepuk keningnya, "Aduh, Bu, lupa kalau ini hari kamis.  Maaf saya absen dulu. Tanggung, toko masih belum rapi, lagipula nanti ada barang yang mau masuk, khawatir tak ada yang menerima."


"Wah, harusnya toko sudah ada asisten nih bu, biar bisa ke handle semua," gelak Bu Tiar menanggapi keluhan kecil Umi.


"Hmm...ia sih Bu harusnya begitu, tapi untuk saat ini sepertinya belum lah... saya masih sanggup mengelola sendiri, walau repot memang!" Aku Umi sambil menyeka sebagian keringat yang membasahi keningnya.


"Sayang soalnya Bu, pahala 100 rakaat shalat sunnahnya akhir-akhir ini selalu dilewatkan. Kalau ada karyawan kan bisa lebih santai menuntut ilmu...." ujar Bu Tiar kembali berpendapat.


Senyum samar tersungging dari bibir Umi.  Ia faham, menuntut ilmu itu hukumnya wajib.  Namun apadaya kesibukannya seakan menjebaknya terus bergerak tiada henti.  Untuk membayar asisten, sepertinya dalam waktu dekat tidak akan dilakukan, karena itu sama saja mengurangi pendapatannya.  Lagipula menurutnya, segala urusan di butik kecil ini sampai sekarang masih bisa ditangani sendiri dengan baik.  


"Nanti saja Ibu yang sampaikan rangkuman materi kajian hari ini, anggap saja saya memberikan ibu kesempatan meraih pahala menyampaikan ilmu, yakni 1000 rakaat shalat sunnah." Tukas Umi tak mau kalah.


Kekehan kecil terlontar dari mulut Bu Tiar, "Naam, saya pergi dulu, Bun."


***


Matahari mulai meninggi, mata umi tertuju pada tumpukan  paket di sudut butik kecilnya.  Ia menarik nafas berat.  Hampir saja ia melupakan salah satu tugas hari ini, mengirim paket yang dipesan pembeli dengan cara online.  


Pintu butik berdenting...Ada pembeli datang berkunjung. 


Perempuan itu pun menghadirkan senyum teramah yang ia punya.   Lima menit berlalu, basa-basi ringan pun terlontar, sejumlah ratusan ribu pun beralih dari genggaman pembeli kepadanya.  Senyum Umi pun mengukir lebar.


Selepas pembeli tadi, Umi bergegas mengatur beberapa paket yang akan diantar ke ekspedisi.  Pagar rumah sudah terlebih dahulu dikunci rapat.  Namun belum sempat menyalakan motor maticnya, adzan dzuhur berkumandang.  


Dengus kesal meluncur dari bibirnya...'Ah, tanggung...nanti saja shalatnya seusai paket-paket ini diantar dulu ke ekspedisi. Apalagi pembayaran bisa ditangguhkan jika resi gak langsung diambil' bathinnya seolah berbisik lirih.


Motor pun dinyalakan dan sesaat kemudian wanita itu meluncur membelah jalan raya.


Sayup-sayup suara panggilan Allah masih tertangkap ditelinganya, sementara lampu merah di depannya seperti enggan berganti hijau.  Udaran panas yang menyengat, berandil mencucurkan keringat yang mengalir di sela-sela helm dan membasahi sisi kerudungnya. Umi mulai gelisah, melirik jam yang melingkar di tangannya.  Matanya bergerak lagi menatap rambu yang belum juga berpindah posisi, Umi mulai kehilangan kesabaran.


Ia menarik gas melajukan kendaraan menerobos lampu lalu lintas. Dari arah kanan, sebuah pickup pengangkut pasir melintas kencang seolah takut kehabisan waktu didahului lampu merah yang sebentar lagi berubah tanda.  


Tabrakan pun tak terelakkan....


Tubuh Umi terpental membentur aspal bersama motor dan beberapa paket yang dibawanya.  


Darah merembes deras dibalik helm yang ia kenakan.  Seketika kerumunan orang bergerak mendekat.  


Umi masih menemukan kesadarannya....


"Ya Allah, Bu-ibu? Bisa dengar saya?." Wajah seorang pria tak dikenal mendekat berusaha memberikan pertolongan.


Umi mengerjapkan kedua matanya sebagai jawaban.  Namun kepalanya terasa berat seperti dihantam oleh gada yang bertubi-tubi.  Ia mencoba mengangkat sebelah tangan dan berusaha bicara," tang-gung, nnaan-ti  sa-ja...."


Nafas itu pun terputus. Ruh Umi sudah terlepas dari raganya []




No comments:

Powered by Blogger.